TULISAN 5
RAHASIA SOEKARNO (SANG DIPLOMAT)
Rahasia Sang Diplomat
Tidak terlalu berlebihan bila
saya menyebut Presiden Soekarno sebagai Presiden multi talenta. Soekarno
seorang orator, Soekarno seorang seniman, Soekarno seorang perayu wanita dan
Soekarno mampu menjadi seorang diplomat.
Diplomasi ala Bung Karno
memiliki banyak cara, tergantung kapan dan dengan siapa Bung Karno berhadapan.
Tapi siapapun lawan bicaranya Bung Karno selalu membuat kita bangga.
Kisah Pertama, terjadi pada
saat rapat pimpinan antar negara dalam rangka membentuk aliansi dunia ketiga
yakni aliansi bangsa-bangsa Asia-Afrika (belakangan oleh Bung Karno diperluas
menjadi Asia, Afrika dan Amerika Latin). Pada sebuah sidang yang dihadiri oleh
para pemimpin peserta, terjadi proses pengambilan keputusan yang panjang dan
bertele-tele, tidak mengkerucut pada satu kesimpulan. Lalu, bung Karno
mengambil inisiatif mendekati Nehru dan membisikkan sesuatu lalu ditanggap
dengan anggukan oleh Nehru. Kemudian Bung Karno beranjak ke posisi Gamal
Abulnasser, membisikkan sesuatu dan ditanggap dengan anggukan pula oleh si
pemimpin negeri Mesir ini.
Tak lama setelah kedua aksi
bisik oleh Bung Karno tersebut, ia pun meminta giliran untuk menyampaikan
pendapat dan mengusulkan diselenggarkannya Konferensi Asia Afrika di Bandung.
Usulan tersebut langsung ditanggapi setuju oleh para hadirin, baik yang berbeda
maupun yang sama pendapat.
Rupanya, melihat perbedaan
pendapat yang meruncing Bung Karno menggunakan figur Abdul Naser dan Gandi yang
berpengaruh masing-masing di Afrika dan Asia. Konon, menurut pengakuan Bung
Karno dalam buku yang saya baca tersebut sesungguhnya beliau tak membisikkan
sesuatu pesan politik apapun ke telinga kedua pemimpin berpengaruh tersebut.
Beliau hanya mengajak makan siang bareng sehabis pertemuan yang melelahkan,
bertele-tele dan tak seia-sekata tersebut. Tapi ternyata anggukan kedua
pemimpin berpengaruh tersebut dianggap sebagai persetujuan terhadap gagasan
Bung Karno yang ia sampaikan beberapa saat setelah berbisik dan diangguki.
Kisah kedua. Kisah kedua ini
mengenai kunjungan mendadak Menlu RRC saat sibuk-sibuknya pemerintahan Bung
Karno mempersiapkan ajang Games Of New Emerging Forces (Ganefo), sebuah event
tandingan terhadap Olimpiade yang diikuti oleh negara-negara Konferensi Asia,
Afrika dan Amerika Latin. Konon, didapatkan informasi dari biro intelijen luar
negeri bahwa Menlu RRC akan berkunjung ke Indonesia sekitar dua minggu ke
depan.
Kunjungan mendadak dan tempo
yang singkat antara informasi kunjungan dengan pelaksanaan kunjungan membuat
para pemimpin Indonesia kelabakan. Kementrian luar negeri di bawah Soebandrio
meminta informasi akurat dari kedutaan dan jejaring informasi luar negeri
mengenai maksud kunjungan menlu RRC tersebut. Namun baru dua hari menjelang
kunjungan menlu RRC tersebut barulah didapatkan informasi maksud kunjungan
tersebut. Ternyata maksud kunjungan tersebut adalah mempertanyakan kebijakan
pemerintahan Bung Karno yang membatasi ruang gerak bisnis etnis Tionghoa di
Indonesia, hanya boleh di Kota Kabupaten, jadi etnis tionghoa tidak boleh
berbisnis di kota kecamatan, apa lagi sampai ke desa.
Berhubung maksud kunjungan
tersebut baru diterima dua hari menjelang kedatangan tamu kehormatan.
Soebandrio dan jajaran Menlu RI gugup serta panik karena belum sempat
mengumpulkan informasi untuk memberi jawaban yang memuaskan sang sahabat yang
sangat diperlukan tersebut (sangat dibutuhkan karena RRC dan Rusia sangat
dibutuhkan bantuannya dalam persiapan program Ganefo yang sedang dalam progres).
Maka Soebandrio pun menghadap Bung Karno dan menyampaikan maksud kunjungan
Perdana Menteri RRC dan berkonsultasi bagaimana cara menajawabnya. Lalu, Bung
Karno dengan enteng menjawab: “sudah, nanti yang menyambut dan menemuinya oleh
saya saja”, begitulah kira-kira jawaban Bung Karno kepada Soebandrio.
Ketika tamu kehormatan itu
datang. Bung Karno dengan santai dan hangat menyambut tamu dengan hangat.
Ketika sampai pada topik pembicaraan mengenai misi diplomasi Menlu RRC, Bung
Karno menjelaskan bahwa RRC dan Indonesia adalah sesama negara sosialis. Dalam
hubungan ideologis ini, RRC adalah saudara tua bagi Indonesia yang masih baru.
Bung Karno menjelaskan pula bahwa di desa-desa Indonesia pada dasarnya sudah
menganut sosialisme secara kultural. Sedangkan di perkotaan nafsu kapitalisme
masih mengancam sosialisme Indonesia, oleh karena itu saudara-saudara kita yang
etnis Tionghoa diminta berkonsentrasi melakukan peran ekonomi sosialismenya di
perkotaan.
Penjelasan Bung Karno tersebut
entah memuaskan atau membuat Menlu RRC mati kutu tak bisa menjawab, yang jelas
Menlu RRC kemudian pulang ke negrinya dan hubungan RRC-Indonesia tetap
baik-baik dan mesra sesudah pertemuan itu hingga berakhirnya masa kekuasaan
Bung Karno.
Itulah sekelumit penggalan kisah
Presiden Soekarno dalam malaksanakan diplomasinya, ringan, santai namun yang
terpenting Presifen Soekarno selalu memiliki kepercayaan diri yang tinggi
menghadapi siapa dan dalam kondisi apapun. Bagaimana dengan pemimpin kita saat
ini ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar