Masalah
Lampau Jakarta
MENJELANG
pilkada, spanduk, baliho, dan poster-poster calon gubernur (cagub) memenuhi
Jakarta. Selain wajah para cagub, termaktub pula program dan janji mereka untuk
perbaikan kota berusia 485 tahun ini. Tiap hari, beragam masalah seperti
penyuapan, kriminalitas, dan konflik sosial menyesaki Jakarta. “Beberapa
masalah yang ada di Jakarta sekarang bahkan dapat ditarik ke rentang masa
lampau kota ini,” kata Bondan Kanumoyoso, sejarawan Universitas Indonesia,
dalam diskusi dan peluncuran buku Batavia
Masyarakat Kolonial Abad XVII karya Hendrik E. Niemeijer, 30
Juni lalu.
Sebermula hanya sejengkal wilayah berlumpur dan berawa di
pinggir pantai, Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) lalu mengubah Jakarta menjadi
kota sejak 1619. Mulai dari mengganti nama, Jaccatra jadi Batavia, VOC juga
membangun tembok kota, benteng, kastil, kantor, dan permukiman. Penduduk mereka
datangkan dari banyak wilayah seperti Banten, Maluku, Bali, Bugis, Makassar,
bahkan India.
Bersitumbuh dan ramai oleh masyarakat beragam etnis dan
bahasa, masalah pun menyeruak di Batavia. Batas tanah, salah satunya, yang
muncul seiring pembukaan lahan di Batavia. “Masalah batas tanah sudah ada dalam
kurun itu,” ungkap Achmad Sunjayadi, Sejarawan Universitas Indonesia, yang
hadir sebagai penanggap buku. Kala itu pencatatan batas tanah terbilang rapi.
“Pada masa lalu lebih tertata. Dicatat rapi di arsip,” tambahnya. Lantaran arsip-arsip
itu pula Hendrik dapat menjabarkan masalah batas tanah dalam bukunya.
Dalam arsip lainnya, termaktub pula keterangan mengenai
rumah bordil. Meski kongsi dagang yang sangat berorientasi keuntungan dan
perdagangan (VOC) itu melarang pelacuran di Batavia, banyak pejabat, terutama
di kehakiman dan pajak, berhasil disuap. Bisnis itu sangat menggiurkan bagi
sebagian orang. “Dalam buku ini diceritakan bagaimana upaya penyuapan pejabat
kehakiman VOC,” terang Achmad. Sogok-menyogok menjadi realitas yang menyehari
di kalangan pejabat Batavia.
Para pejabat VOC, yang digaji besar dan bisa hidup mewah
dalam rumah batu berikut perabotannya tanpa perlu korupsi, berbeda dengan
sebagian besar masyarakat yang hanya mampu membangun rumah dari bambu atau
kayu. “Mereka, kaum mardijker (merdeka), datang dan bekerja di Batavia lalu
membangun rumah petak,” kata Achmad. Istilah rumah petak berasal dari bahasa
Portugis, casa atau pedackos; kaum mardijker berasal dari
wilayah yang pernah diduduki Portugis.
Kaum mardijker mulanya hidup di dalam tembok kota. Ketika
daerah ommelanden (kawasan luar tembok kota) sudah aman
pada pertengahan abad ke-17, mereka mulai membaur dengan kelompok etnis lainnya
seperti Jawa, Bali, Bugis, Makasar, dan Ambon. Sebelumya, ommelanden lebih banyak dikuasai pendatang dari
Jawa, dan tak pernah aman. Tingkat kriminalitas sangat tinggi. Pencurian dan
perampokan terjadi hampir tiap hari, menimpa warga yang bertamasya atau pergi
melalui hutan-hutan di ommelanden.
Meski sudah aman dan kriminalitas menurun sejak
pertengahan abad ke-17, konflik antarkampung justru mulai muncul. Di ommelanden, warga hidup di kampung
berdasarkan asal wilayah dan etnisnya. Pembauran budaya berjalan beriringan
dengan dengan gesekan sosial. VOC membiarkan yang pertama, namun mencoba
meredam yang kedua. “Lantaran tak memahami semesta hidup masyarakat lapis bawah,
upaya VOC gagal,” ujar Bondan.
Kehidupan warga di ommelanden inilah yang dibahas cukup unik
oleh Hendrik. “Dia menempatkanommelanden sebagai komunitas dan kajian
tersendiri. Ini tidak pernah dilakukan sebelumnya oleh para sejarawan Batavia,”
kata Bondan. Ini yang membedakannya dari karya lain tentang Batavia seperti Oud Batavia, Social World of Batavia, dan The Kapitan
Cina of Batavia.
Ommelanden seringkali dimasukkan sebagai bagian
dari Batavia. Padahal, menurut Bondan, ommelandenmerupakan
komunitas tersendiri. Semesta hidup masyarakatnya jauh berbeda dari mereka yang
di dalam tembok kota. Pemerintah Agung Batavia juga mengatur ommelanden dengan cara berbeda.
Ommelanden kini dapat dilihat sebagai kota
penyangga Jakarta, “bodetabek” (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi), yang juga
tak luput dari masalah. Melalui buku Hendrik, akar masalah itu diketahui
merentang sejak abad ke-17. “Kehidupan ommelanden sangat berwarna. Permasalahan
dulu tak beda jauh dengan sekarang,” kata Bondan. Para calon gubernur, saran
Bondan, agar menelusuri sejarah masa lampau Batavia dari buku Hendrik. “Kalau
pemerintah Jakarta mau belajar, banyak yang didapat dari sejarah.”
Kehadiran buku Hendrik sangat penting. Selain membuka
gerbang menuju arsip-arsip VOC yang belum tergarap, buku ini juga memaparkan
kehidupan masyarakat multietnis di Batavia bersama masalahnya sehari-hari.
“Dari data itu tersedia informasi yang melimpah, yang menanti digarap. Ini peluang
bagi sejarawan,” kata Achmad. “Hendrik tidak melihat Batavia sebagai kota,
melainkan sebagai komunitas,” sambung Bondan.
Tapi Hendrik merendah. Dia, yang beroleh segudang arsip,
merasa hanya membuat sketsa. “Saya hanya membuat sketsa mengenai Batavia.
Masyarakatnya sangat kompleks,” ujarnya. Dia menilai masih banyak peluang bagi
sejarawan untuk menyingkap kehidupan masa lalu masyarakat Batavia. Salah satu
tema yang belum tergali adalah lelaku beragama antar masyarakat. “Saya kira ini
penting untuk membaca kondisi kehidupan beragama masyarakat Jakarta sekarang.
Bagaimana orang Islam, Kristen, dan Katolik dulu berinteraksi mungkin ada yang
berjejak hingga sekarang.”