Manusia dan penderitaan
a . pengertian dan makna penderitaan
Dalam setiap bentuk penderitaan, yang dialami oleh manusia, dan sekaligus berdasarkan seluruh dunia penderitaan, tak dapat dielakkan lagi muncul pertanyaan: Mengapa?Ini merupakan suatu pertanyaan mengenai sebab, alasan dan juga mengenai maksud dari penderitaan, dan, secara ringkas, suatu pertanyaan mengenai arti penderitaan. Hal itu tidak hanya menyertai penderitaan manusia, tapi agaknya juga menentukan arti manusiawinya, yang justru membuat penderitaan menjadi penderitaan manusiawi.
Jelaslah bahwa rasa sakit, lebih-lebih rasa sakit jasmani, lazim dalam dunia binatang. Tapi hanya manusia yang menderita yang tahu bahwa dia sedang menderita dan berpikir apa sebabnya. Dan dia menderita secara manusiawi secara lebih mendalam jika dia tidak menemukan suatu jawaban yang memuaskan. Hal ini merupakan suatu pertanyaan yang sulit, justru karena merupakan suatu pertanyaan yang dekat dengan pertanyaan tentang kejahatan. Mengapa ada kejahatan? Mengapa ada kejahatan di dunia ini? Bila kita mengajukan pertanyaan dengan cara ini, kita selalu, sekurang-kurangnya dalam arti tertentu, mengajukan suatu pertanyaan juga tentang penderitaan.
Kedua pertanyaan itu sulit, bila seorang individu mengajukannya pada orang lain, bila satu bangsa mengajukannya kepada bangsa lain, seperti halnya bila seseorangmengajukannya kepada Tuhan. Karena manusia tidak mengajukan pertanyaan ini kepada dunia, meskipun justru dari dunialah datangnya kesengsaraan yang menimpa manusia, tapi manusia mengajukannya kpada Tuhan sebagai Pencipta dan Penguasaan dunia ini. Dan cukup diketahui orang bahwa sehubungan dengan pertanyaan ini tidak hanya timbul kekecewaan-kekecewaan dan konflik-konflik dalam hubungan manusia dengan Tuhan, tapi juga terjadi manusia sampai kepada titik di mana secara sungguh-sungguh menyangkal Tuhan. Karena sesungguhnya existensi atau adanya dunia membuka mata jiwa manusia terhadap adanya Tuhan, terhadap kebijaksanaan-Nya, kekuasaan dan kebesaran-Nya, tetapi kejahatan dan penderitaan agaknya mengaburkan gambaran tadi, bahkan kadang-kadang secara radikal, lebih-lebih dalam drama sehari-hari dari begitu banyak kesalahan yang tidak mendapat hukuman secara semestinya. Maka situasi semacam ini memperlihatkan - mungkin lebih dari pada yang lainnya - pentingnya pertanyaan mengenai arti penderitaan; hal itu juga memperlihatkan betapa banyaknya perhatian yang harus diberikan baik dalam menangani pertanyaan itu sendiri maupun dengan kemungkinan jawaban terhadap pertanyaan itu.
Manusia dapat mengajukan pertanyaan ini kepada Tuhan dengan semua emosi hatinya dan dengan pikirannya yang penuh dengan ketakutan dan kecemasan. Tuhan menunggu pertanyaan dan mendengarkannya, seperti yang kita lihat dalam Perwahyuan Perjanjian Lama. Dalam Kitab Ayub pertanyaan itu telah mendapatkan ungkapan yang sangat hidup.
Kisah mengenai orang yang saleh tadi, yang meski tanpa kesalahannya sendiri, telah dicobai dengan penderitaan-penderitaan yang begitu banyak, telah cukup dikenal. Ayub kehilangan seluruh miliknya, anak-anaknya lelaki dan anak-anaknya perempuan, dan akhirnya dia sendiri ditimpa dengan suatu penyakit yang berat. Dalam keadaan yang mengerikan ini datanglah tiga sahabat lama ke rumahnya, dan masing-masing dari mereka itu mencoba meyakinkan Ayub bahwa karena dia telah ditimpa dengan penderitaan yang begitu beraneka ragam dan begitu mengerikan, dia tentu telah melakukan suatu kesalahan yang serius. Sebab menurut kata mereka, penderitaan selalu menimpa seseorang sebagai hukuman bagi suatu kejahatan. Penderitaan itu dikirimkan oleh Tuhan yang Mahaadil dan mendapatkan pembenarannya dalam tatanan keadilan. Dapat dikatakan bahwa sahabat-sahabat lama Ayub tak hanya ingin meyakinkan dia mengenai pembenaran secara moral terhadap adanya kejahatan, tapi dalam arti tertentu mereka mencoba untuk memberikan pembenaran bagi mereka sendiri mengenai arti moral dari penderitaan. Di mata mereka penderitaan hanya mempunyai suatu arti sebagai suatu hukuman bagi suatu dosa, oleh karenanya hanya pada tingkat keadilan Tuhan, yang membalas kebaikan dengan kebaikan dan membalas kejahatan dengan kejahatan.
Dalam hal ini yang menjadi rujukan adalah ajaran yang terungkap dalam tulisan-tulisan Perjanjian Lama yang lain, yang memperlihatkan kepada kita penderitaan sebagai hukuman yang diberikan oleh Tuhan kepada dosa-dosa manusia. Tuhan Pemberi Wahyu adalah Pemberi hukum dan Hakim dalam arti tertentu, yang tak dapat ditandingi oleh kuasa duniawi mana pun. Karena Tuhan yang menjadi Pemberi Wahyu terutama adalah Pencipta, dari mana semuanya berasal, bersama dengan existensinya, yang merupakan baiknya ciptaan secara hakiki. Oleh karenanya maka pelanggaran secara sadar dan bebas terhadap kebaikan tadi oleh manusia, tidak hanya mrupakan suatu pelanggaran terhadap hukum tapi sekaligus juga merupakan suatu penghinaan terhadap Pencipta, yang merupakan Pemberi Hukum yang pertama. Pelanggaran semacam itu merupakan suatu dosa, menurut arti yang tepat dari kata ini, yakni secara alkitabiah dan secara teologis. Hukuman diberikan selaras dengan kesalahan moral, yang menjamin tatanan moral dalam arti transenden yang sama dalam mana tatanan tadi diatur oleh kehendak Pencipta dan Pemberi Hukum Tertinggi. Dari sinilah juga dirumuskan kebenaran-kebenaran fundamental dari iman keagamaan, yang juga sama-sama berdasarkan pada wahyu, yaitu bahwa Tuhan adalah Hakim yang adil, yang memberikan anugerah kepada orang yang baik dan menghukum orang yang jahat: “Oleh karena Engkau adil dalam segala-galanya yang telah Kau perbuat kepada kami; benarlah segala pekerjaan-Mu. Segala jalan-Mu adalah lurus, dan benar pulalah segenap keputusan-Mu. Keputusan-keputusan benar telah Kau jalankan dalam segala sesuatunya yang Kau datangkan atas diri kami... sesuai dengan kebenaran dan keadilan telah Kau datangkan semuanya itu oleh sebab segala dosa kami” (Tambahan Daniel 3:27-28).
Pendapat yang dikemukakan oleh teman-teman Ayub menampakkan suatu keyakinan yang juga terdapat dalam kesadaran moral umat manusia: tatanan moral yang obyektip menuntut adanya hukuman untuk pelanggaran, dosa dan kejahatan. Dari segi pandangan semacam ini maka penderitaan nampaknya sebagai suatu “kejahatan yang dapat dibenarkan”. Keyakinan dari orang-orang tadi yang menerangkan penderitaan sebagai suatu hukuman untuk dosa mendapatkan dukungan dalam tatanan keadilan, dan hal ini sesuai dengan keyakinan yang diungkapkan oleh salah seorang teman Ayub: “Yang telah kulihat ialah bahwa orang yang membajak kejahatan dan menabur kesusahan, ia menuainya juga” (Ayub 4:8).
Tetapi Ayub menantang kebenaran dari prinsip yang mengidentikkan penderitaan dengan hukuman untuk dosa. Dan dia melakukan hal ini berdasarkan pada pendapatnya sendiri. Karena dia sadar bahwa dia tidak patut untuk mendapat hukuman semacam itu, dan kemudian mulai berbicara mengenai kebaikan yang telah ia lakukan selama hidupnya. Pada akhirnya Tuhan sendiri mencela teman-teman Ayub karena dakwaan-dakwaan mereka dan Tuhan mengakui bahwa Ayub tidak bersalah. Penderitaan Ayub adalah penderitaan dari seseorang yang tidak bersalah; hal itu harus diterima sebagai suatu misteri, yang tak dapat ditembus oleh seorang manusia pun secara penuh berdasarkan akal budinya.
Kitab Ayub tidak melanggar dasar-dasar tata moral yang transenden, yang berdasarkan pada keadilan, seperti yang diberikan oleh seluruh Perwahyuan, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Namun pada saat yang sama Kitab ini dengan tegas memperlihatkan bahwa prinsip-prinsip dari tatanan tadi tidak dapat diterapkan secara eksklusif dan secara dangkal. Memang benar bahwa penderitaan mempunyai suatu makna sebagai hukuman, bila dihubungkan dengan suatu kesalahan, tapi tidak benarlah bahwa segala penderitaan merupakan suatu akibat dari suatu kesalahan dan merupakan suatu bentuk hukuman. Tokoh manusia yang saleh, Ayub, merupakan suatu bukti yang khusus mengenai hal ini dalam Perjanjian Lama. Perwahyuan, yang adalah Sabda Allah sendiri, dengan terus terang menyajikan persoalan mengenai penderitaan seorang manusia yang tidak bersalah: penderitaan meski tanpa kesalahan. Ayub tidak dihukum, tidak ada alasan untuk menjatuhkan suatu hukuman kepadanya, meskipun dia telah mengalami suatu percobaan yang berat. Dari kata pengantar Kitab ini nampaklah bahwa Tuhan mengijinkan percobaan tadi sebagai akibat dari provokasi setan. Karena Setan di hadapan Tuhan telah menantang ketulusan dari Ayub: “Apakah Ayub takut akan Allah? … Engkau telah memberkati apa yang dikerjakannya, dan apa yang dimilikinya makin bertambah di negeri ini. Tapi ulurkanlah tangan-Mu dan jamahlah segala yang dipunyainya, ia pasti mengutuki Engkau di hadapanMu” (Ayub 1:9-11). Dan bila Tuhan setuju untuk mencobai Ayub dengan penderitaan, Dia melakukannya untuk memperlihatkan ketulusan dari Ayub. Penderitaan merupakan suatu uji coba.
Kitab Ayub bukanlah kata terakhir mengenai hal ini dalam Perwahyuan. Dalam arti tertentu hal itu merupakan suatu pralambang bagi Kesengsaraan Kristus.
Tapi dari dirinya sendiri Kitab Ayub merupakan suatu bukti yang cukup mengapakah jawaban terhadap pertanyaan mengenai arti penderitaan tidak boleh hanya dikaitkan pada tatanan moral semata-mata, yang berdasarkan pada keadilan saja. Jawaban semacam ini merupakan suatu alasan yang fundamental dan transenden dan sah adanya, tapi pada saat yang sama agaknya bukan tidak hanya tidak memuaskan dalam menghadapi kasus-kasus seperti penderitaan yang dialami oleh seorang manusia yang adil seperti Ayub, tapi malahan agaknya seolah-olah meremehkan dan memiskinkan penderitaan yang menimpa seseorang yang tidak bersalah, tapi tidak diberikan pemecahan terhadap persoalan ini.
Dalam Perjanjian Lama kita sudah melihat ada suatu orientasi yang mulai mengatasi konsep, menurut mana penderitaan mempunyai suatu arti tidak hanya sebagai suatu hukuman bagi dosa, sejauh ditekankan pada saat yang sama nilai pendidikan dari penderitaan sebagai suatu hukuman. Dengan demikian dalam penderitaan yang diberikan oleh Tuhan pada Umat Terpilih terdapat suatu ajakan untuk memperoleh belas kasih-Nya, yang memberikan perbaikan agar supaya mereka bertobat: “... hukuman-hukuman ini tidak bermaksud untuk membinasakan bangsa kita tapi untuk memperbaikinya” (2 Makabe 6:12).
Dengan demikian dimensi pribadi dari hukuman diteguhkan. Menurut dimensi ini, hukuman mempunyai arti bukan hanya karena berfungsi untuk membalas kejahatan obyektip terhadap pelanggaran dengan kejahatan lainnya, tapi pertama-tama dan terutama karena menciptakan kemungkinan untuk membangun kembali kebaikan dalam subyek yang menderita.
Ini merupakan salah satu segi yang penting dari penderitaan. Hal itu secara mendalam berakar dalam seluruh Perwahyuan dari Perjanjian Lama dan lebih-lebih dalam Perjanjian Baru. Penderitaan harus berfungsi untuk pertobatan yaitu untuk membangun kembali kebaikan dalam subyek, yang dapat mengenal belas kasih ilahi dalam panggilan untuk bertobat tadi. Maksud dari pertobatan ialah untuk mengalahkan kejahatan, yang dalam berbagai bentuknya masih ada dalam diri manusia. Maksudnya juga untuk memperkuat kebaikan baik dalam diri manusia sendiri maupun dan dalam hubungannya dengan orang-orang lain dan lebih-lebih dengan Tuhan.
Tapi untuk melihat jawaban yang benar terhadap pertanyaan “mengapa ada penderitaan,” kita harus melihat pada perwahyuan mengenai kasih ilahi, yang merupakan sumber terdalam dari makna setiap hal yang ada. Kasih juga merupakan sumber yang terkaya dari arti penderitaan, yang selalu tetap merupakan suatu misteri: kita sadar akan tidak cukupnya dan tidak memadainya penjelasan-penjelasan kita. Kristus menyebabkan kita masuk dalam misteri ini dan untuk menemukan “mengapa ada penderitaan,” sejauh kita dapat menangkap keluhuran kasih ilahi.
Untuk menemukan arti terdalam dari penderitaan, sesuai dengan sabda Tuhan yang diwahyukan, kita harus membuka diri kita lebar-lebar terhadap subyek manusia dalam kemampuannya yang beraneka macam.
Lebih-lebih kita harus menerima cahaya Perwahyuan tidak hanya sejauh hal itu mengungkapkan tatanan keadilan yang transenden tapi juga sejauh Perwahyuan itu menyinari tatanan tadi dengan Kasih, sebagai sumber definitip dari tiap hal yang ada. Kasih juga merupakan sumber yang paling penuh dari jawaban terhadap pertanyaan mengenai arti penderitaan. Jawaban ini telah diberikan oleh Tuhan kepada manusia dalam Salib Yesus Kristus.
b. siksaan
Siksaan atau penyiksaan (Bahasa Inggris: torture) digunakan untuk merujuk pada penciptaan rasa sakit untuk menghancurkan kekerasan hati korban. Segala tindakan yang menyebabkan penderitaan, baik secara fisik maupun psikologis, yang dengan sengaja dilakukkan terhadap seseorang dengan tujuan intimidasi, balas dendam, hukuman, sadisme, pemaksaan informasi, atau mendapatkan pengakuan palsu untuk propaganda atau tujuan politik dapat disebut sebagai penyiksaan. Siksaan dapat digunakan sebagai suatu cara interogasi untuk mendapatkan pengakuan. Siksaan juga dapat digunakan sebagai metode pemaksaan atau sebagai alat untuk mengendalikan kelompok yang dianggap sebagai ancaman bagi suatu pemerintah. Sepanjang sejarah, siksaan telah juga digunakan sebagai cara untuk memaksakan pindah agama atau cuci otak politik.
Penyiksaan hampir secara universal telah dianggap sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia, seperti dinyatakan Deklarasi Hak Asasi Manusia. Para penandatangan Konvensi Jenewa Ketiga danKonvensi Jenewa Keempat telah menyetujui untuk tidak melakukan penyiksaan terhadap orang yang dilindungi (penduduk sipil musuh atau tawanan perang) dalam suatu konflik bersenjata. Penanda tangan UN Convention Against Torture juga telah menyetujui untuk tidak secara sengaja memberikan rasa sakit atau penderitaan pada siapapun, untuk mendapatkan informasi atau pengakuan, menghukum, atau memaksakan sesuatu dari mereka atau orang ketiga. Walaupun demikian, organisasi-organisasi seperti Amnesty International memperkirakan bahwa dua dari tiga negara tidak konsisten mematuhi perjanjian-perjanjian tersebut.
c. Rasa sakit
Sakit adalah persepsi seseorang bila merasa kesehatannya terganggu. Penyakit adalah proses fisik dan patofisiologis yang sedang berlangsung dan dapat menyebabkan keadaan tubuh atau pikiranmenjadi abnormal.
Sakit dan penyakit itu beda. Seseorang dapat agak merasa sehat (tidak ada sakit maupun penyakit), namun jika merasa tak sehat, itulah sakit.
Dengan cara serupa, seseorang yang fisiknya tidak sehat bisa mengidap penyakit, namun jika merasa sepenuhnya sehat, mereka tidak sehat. Orang dapat mengidap tekanan darah tinggi yang berbahaya, maupun ancaman serangan jantung maupun stroke yang fatal, meskipun masih merasa sehat.
Model biopsikososial menjelaskan perbedaan antara proses patologis aktual yang menyebabkan penyakit, dan persepsi pasien atas kesehatan dan pengaruh sakit terhadapnya, disebut sakit.
d. Sumber-sumber penderitaan
Keinginan adalah sumber penderitaan
Tempatnya di dalam pikiran
Tujuan bukan utama
Yang utama adalah prosesnya
Tempatnya di dalam pikiran
Tujuan bukan utama
Yang utama adalah prosesnya
Kita hidup mencari bahagia
Harta dunia kendaraannya
Harta dunia kendaraannya
Bahan bakarnya budi pekerti
Itulah nasehat para nabi
Ingin bahagia derita didapat
Karena ingin sumber derita
Harta dunia jadi penggoda
Membuat miskin jiwa kita
Ada benarnya nasehat orang-orang suci
Memberi itu terangkan hati
Seperti matahari
Yang menyinari bumi
Yang menyinari bumi
e. Upaya menghindarkan penderitaan
Penderitaan jiwa, berat maupun ringan, sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia di zaman modern ini. Sadar atau tak sadar, banyak orang merasakan penderitaan dan rintihan dalam batinnya. Terhibur dalam keramaian tapi gelisah dalam kesendirian, menjerit dalam kesunyian, menemukan orang yang tepat untuk curhat sulit, orang tua tidak mengerti. Problem ini dirasakan termasuk oleh orang-orang yang taat menjalankan kehidupan ritual agamanya sehari-hari. Dalam keramaian seperti tak ada masalah, ceria, riang dan gembira, tapi dalam kesendirian dan kesunyian, batinnya menjerit karena masalah tak hilang-hilang, beban perasaan terasa berat, stres oleh pekerjaan yang menumpuk, jodoh tak kunjung datang, uang dan materi berlimpah tapi tak ada ketenangan hidup, makanan banyak tapi tak ada kenikmatan dst. Akhirnya, tak betah di rumah, asing dengan diri sendiri, hidup merasa tak bermakna. Kebahagiaan tidak tahu entah ada dimana.
Apa yang dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah seperti ini? Umumnya kita melakukan tiga berikut ini: Pertama, refresing dalam berbagai bentuknya seperti rekreasi, hiburan, nonton, olah raga, jalan-jalan, kumpul-kumpul, nongkrong di café, belanja menghabiskan waktu dan uang. Kedua, menyibukkan diri dalam berbagai aktifitas yang diharapkannya bisa melupakan problem-problem hidupnya untuk sementara. Ketiga, menghukum dirinya dengan duduk berjam-jam depan komputer menghabiskan waktu dengan main game, chatting atau yang paling populer sekarang, fesbukan. Ditulislah status-status yang berisi kalimat-kalimat indah, puisi atau curhat yang mengkespresikan penderitaan jiwa yang sedang dialaminya: tentang kehampaan hidup, ketiadaan cinta, kesendirian, kekecewaan dan lain-lain. Dengan cara-cara itu ia berharap penderitaannya akan berkurang atau hilang. Tapi kenyataan tidak, masalah tetap saja muncul dan muncul lagi. Mengatasi penderitaan jiwa kepada aktivitas-aktivitas hiburan seperti itu karena kebingungannya harus bagaimana dan melakukan apa. Masalah tetap saja lestari. Akhirnya, tindakan menjadi salah kaprah. Yang menderita jiwa, yang diobatinya fisik. Sumber masalahnya dalam batin, tapi yang kita lakukan tindakan-tindakan lahir. Yang merasakannya hati tapi jawabannya adalah fikiran atau tindakan-tindakan rasional. Ibaratnya, motor rusak dibawa ke puskesmas, sakit gigi datang ke bengkel, demam pergi ke tukang jahit. Akhirnya, masalah tidak hilang-hilang!
Mengatasi penderitaan jiwa dengan bentuk-bentuk hiburan tidak akan menyelesaikan apa yang sedang kita rasakan. Yang kita dapatkan dari hiburan hanyalah kegembiraan atau kesenangan sesaat yang ketika pulang ke rumah atau kembali pada kesendirian, derita-derita itu datang lagi. Begitulah seterusnya. Karena sudah menjadi sistem kesadaran yang berlangsung lama, akhirnya penderitaan muncul terus-menerus. Di hadapan orang, mungkin penderitaan itu bisa kita sembunyikan, kita seolah biasa-biasa saja, tapi hati tidak bisa dipungkiri apalagi saat-saat menyendiri. Derita-derita itu sungguh sangat menyiksa.
Tidak Tepat Terapi
Salah terapi membuat masalah tidak sembuh-sembuh sehingga penderitaan datang terus-menerus. Setiap masalah yang dialami manusia ada sebab dan akar-akarnya sendiri. Karena itu, proses penyembuhannya pun berbeda satu sama lain. Penyembuhan dengan pendekatan agama secara umum, misalnya dengan memperbanyak dzikir, shalat sunat atau sabar dan tawakkal tidak akan menyelesaikan masalah karena itu semua tidak mengungkap akar-akar masalahya. Ibaratnya, harusnya datang ke dokter spesialis tapi kita datang ke dokter umum.
Mengatasi kesulitan hidup yang memproduksi keluhan-keluhan jiwa bukan dengan sabar dan tawakal yang sering diartikan menerima dengan pasif atau dengan wirid/dzikir sekian ribu kali, istikharah, puasa senin-kamis, tahajjud atau baca asma ul-husna dengan bilangan tertentu. Semua praktek itu untuk menenangkan jiwa bukan untuk menyelesaikan masalah. Banyak mengingat Allah dengan berdzikir itu untuk menenangkan hati: “Ala bidzikrillahi tathma’innul qulub” (Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang), bukan untuk membereskan masalah hingga selesai dan tidak muncul lagi. Buktinya, banyak orang rajin berdzikir tapi mental buruknya tetap saja tidak hilang, banyak orang shalatnya rajin tapi ketika mengejar keinginan tetap saja menghalalkan segala cara, banyak orang sabar dan tawakkal tetap saja jodohnya tidak datang, orang rajin puasa sunat tapi tetap saja kesadaran hidupnya rendah. Bukan ritual agamanya yang salah, tapi antara masalah dengan penyelesaian tidak nyambung, bukan ibadah yang salah, tapi pengobatan tidak tepat.
Shalat sunat, puasa sunat atau dzikir adalah ibadah tambahan untuk melengkapi atau menyempurnakan ibadah-ibadah wajib yang banyak kekurangannya atau yang kita kerjakan tidak maksimal. Ibadah-ibadah sunah itu kita laksanakan sebagai ketaatan pada nabi untuk mencontoh perilaku dan kebiasaan beliau sebagai teladan yang baik(uswatun hasanah). Kalau pun berdampak pada berkurangnya beban masalah atau kesembuhan penyakit, itu karena kasih sayang Allah saja, bukan oleh ibadah-ibadah itu, dan bukan untuk tujuan menyelesaikan masalah kita beridabah kepada Tuhan.
Bagaimana Mengatasi Masalah yang Tepat?
Ketika penderitaan-penderitaan jiwa menghimpit seseorang pengobatannya bukan dengan memperbanyak dzikir, wirid atau membaca asma ul-husna, apalagi refreshing ke tempat-tempat hiburan. Yang seharusnya dilakukan adalah merenung dan merenung, menghisab diri (introspeksi) atas semua kesalahan, dosa, pembangkangan dan pelanggaran-pelanggaran agama yang pernah dilakukan. Tapi, ini agak sulit. Tidak mudah orang menemukan dan menyadari kesalahan-kesalahannya sendiri. Maka, cara yang benar adalah carilah orang yang bisa memberikan nasehat!! Tanyakanlah mengapa masalah demi masalah datang tak habis-habisnya, kemudian duduk, diam dan dengarkan orang yang menasehati kita.
Orang yang diminta nasehat harus orang yang tepat: yang bersih hatinya, lurus hidupnya, jernih pandangannya, taat agamanya, satu kata antara hati dan perbuatannya, bisa menguasai hawa nafsunya dan tidak mencintai dunia. Dan yang penting dicatat, bukan orang (termasuk kiayi atau ahli hikmah) yang memberikan resep-resep instan agar masalah cepat selsesai, tapi yang bisa menguraikan kesalahan-kesalahan kita, membeberkan kelemahan dan kekurangan kita, yang menunjukkan keburukan-keburukan kita, yang semua menjadi penyebab yang tidak disadari (hijab ruhani) munculnya penyakit-penyakit dalam diri kita, lahir maupun batin.
Mencari orang seperti itu tidak susah bila ada kemauan. Malas atau membayangkan sulit mencarinya adalah penghalang pertama dari kesembuhan. Cara untuk menemukan orang seperti itu adalah dengan menghidupkan kepekaan hati atau qalbu kita: siapakah dalam lingkungan pergaulan kita, atau yang pernah kita kenal atau kita dengar memiliki atau paling dekat dengan sifat-sifat yang disebutkan di atas. Kuburkanlah status sosial kita saat mencari orang seperti itu, jauhkanlah kesombongan karena kebenaran tak ditemukan melalui gengsi dan keangkuhan. Semakin mampu kita menguburkan egosime dan kesombongan, semakin rendah memandang diri sendiri, semakin merasa diri penuh dengan kelemahan dan kekurangan bahkan kehinaan, Insya Allah, “antena” kita makin kuat untuk menangkap sinyal dimana orang yang layak memberikan nasehat itu berada. Dan itu tak selalu berhubungan dengan ketenaran, usia, sebutan kiayi, ustadz dan sebagainya.
Bila sudah menemukannya, datangi lalu pintalah nasehatnya. Tanyakanlah mengapa kita selalu banyak masalah. Tanyakanlah mengapa kita terpuruk, mengapa kita jatuh, mengapa kita stres, mengapa kita tidak dihormati orang, mengapa sulit mencari jodoh, mengapa anak-anak di rumah tidak hormat dan sulit diatur dst. Tanyakanlah kesalahan dan keburukan apa yang kita lakukan. Ketika nasehat diberikan, praktekkanlah rumus 3D: duduk, diam, dengarkan! Hanya itu yang patut kita lakukan saat mendengarkan nasehat. Janganlah pernah membantah nasehat dengan penjelasan dan kata-kata, dengan pikiran, dengan argumen, bela diri dan apologi. Bila itu ditunjukkan, itulah penghalang kedua dari kesembuhan.
Penyakit umum kita adalah membantah nasehat dan banyak menjelaskan. Buanglah jauh-jauh kedua sifat itu. Argumen dan penjelasan diperlukan dalam kegiatan diskusi bukan saat menerima nasehat. Salah satu problem akut manusia modern adalah sulitnya menundukkan hati untuk mendengarkan nasehat dengan rendah hati, tawadhu dan pengakuan kesalahan. Bila rumus 3D itu dijalankan, Insya Allah, jawaban dari persoalan-persoalan hidup yang kita rasakan akan berkurang kemudian hilang. Mengapa? Karena kita melakukan secara tepat tiga hal: benar memahami masalah diri, benar kemana kita harus datang, dan benar apa yang harus kita lakukan. Tepat identifikasi masalah, tepat cara/metoda dan tepat langkah, pasti akan mendatangkan tepat hasil.[] Wallahu’alam!
Referensi :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar