Senin, 05 November 2012

Masalah Nasional Lokal


Masalah Lampau Jakarta


MENJELANG pilkada, spanduk, baliho, dan poster-poster calon gubernur (cagub) memenuhi Jakarta. Selain wajah para cagub, termaktub pula program dan janji mereka untuk perbaikan kota berusia 485 tahun ini. Tiap hari, beragam masalah seperti penyuapan, kriminalitas, dan konflik sosial menyesaki Jakarta. “Beberapa masalah yang ada di Jakarta sekarang bahkan dapat ditarik ke rentang masa lampau kota ini,” kata Bondan Kanumoyoso, sejarawan Universitas Indonesia, dalam diskusi dan peluncuran buku Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII  karya Hendrik E. Niemeijer, 30 Juni lalu.
Sebermula hanya sejengkal wilayah berlumpur dan berawa di pinggir pantai, Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) lalu mengubah Jakarta menjadi kota sejak 1619. Mulai dari mengganti nama, Jaccatra jadi Batavia, VOC juga membangun tembok kota, benteng, kastil, kantor, dan permukiman. Penduduk mereka datangkan dari banyak wilayah seperti Banten, Maluku, Bali, Bugis, Makassar, bahkan India.
Bersitumbuh dan ramai oleh masyarakat beragam etnis dan bahasa, masalah pun menyeruak di Batavia. Batas tanah, salah satunya, yang muncul seiring pembukaan lahan di Batavia. “Masalah batas tanah sudah ada dalam kurun itu,” ungkap Achmad Sunjayadi, Sejarawan Universitas Indonesia, yang hadir sebagai penanggap buku. Kala itu pencatatan batas tanah terbilang rapi. “Pada masa lalu lebih tertata. Dicatat rapi di arsip,” tambahnya. Lantaran arsip-arsip itu pula Hendrik dapat menjabarkan masalah batas tanah dalam bukunya.
Dalam arsip lainnya, termaktub pula keterangan mengenai rumah bordil. Meski kongsi dagang yang sangat berorientasi keuntungan dan perdagangan (VOC) itu melarang pelacuran di Batavia, banyak pejabat, terutama di kehakiman dan pajak, berhasil disuap. Bisnis itu sangat menggiurkan bagi sebagian orang. “Dalam buku ini diceritakan bagaimana upaya penyuapan pejabat kehakiman VOC,” terang Achmad. Sogok-menyogok menjadi realitas yang menyehari di kalangan pejabat Batavia.
Para pejabat VOC, yang digaji besar dan bisa hidup mewah dalam rumah batu berikut perabotannya tanpa perlu korupsi, berbeda dengan sebagian besar masyarakat yang hanya mampu membangun rumah dari bambu atau kayu. “Mereka, kaum mardijker (merdeka), datang dan bekerja di Batavia lalu membangun rumah petak,” kata Achmad. Istilah rumah petak berasal dari bahasa Portugis, casa atau pedackos; kaum mardijker berasal dari wilayah yang pernah diduduki Portugis.
Kaum mardijker mulanya hidup di dalam tembok kota. Ketika daerah ommelanden (kawasan luar tembok kota) sudah aman pada pertengahan abad ke-17, mereka mulai membaur dengan kelompok etnis lainnya seperti Jawa, Bali, Bugis, Makasar, dan Ambon. Sebelumya, ommelanden lebih banyak dikuasai pendatang dari Jawa, dan tak pernah aman. Tingkat kriminalitas sangat tinggi. Pencurian dan perampokan terjadi hampir tiap hari, menimpa warga yang bertamasya atau pergi melalui hutan-hutan di ommelanden.
Meski sudah aman dan kriminalitas menurun sejak pertengahan abad ke-17, konflik antarkampung justru mulai muncul. Di ommelanden, warga hidup di kampung berdasarkan asal wilayah dan etnisnya. Pembauran budaya berjalan beriringan dengan dengan gesekan sosial. VOC membiarkan yang pertama, namun mencoba meredam yang kedua. “Lantaran tak memahami semesta hidup masyarakat lapis bawah, upaya VOC gagal,” ujar Bondan.
Kehidupan warga di ommelanden inilah yang dibahas cukup unik oleh Hendrik. “Dia menempatkanommelanden sebagai komunitas dan kajian tersendiri. Ini tidak pernah dilakukan sebelumnya oleh para sejarawan Batavia,” kata Bondan. Ini yang membedakannya dari karya lain tentang Batavia seperti Oud Batavia, Social World of Batavia, dan The Kapitan Cina of Batavia.
Ommelanden seringkali dimasukkan sebagai bagian dari Batavia. Padahal, menurut Bondan, ommelandenmerupakan komunitas tersendiri. Semesta hidup masyarakatnya jauh berbeda dari mereka yang di dalam tembok kota. Pemerintah Agung Batavia juga mengatur ommelanden dengan cara berbeda.
Ommelanden kini dapat dilihat sebagai kota penyangga Jakarta, “bodetabek” (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi), yang juga tak luput dari masalah. Melalui buku Hendrik, akar masalah itu diketahui merentang sejak abad ke-17. “Kehidupan ommelanden sangat berwarna. Permasalahan dulu tak beda jauh dengan sekarang,” kata Bondan. Para calon gubernur, saran Bondan, agar menelusuri sejarah masa lampau Batavia dari buku Hendrik. “Kalau pemerintah Jakarta mau belajar, banyak yang didapat dari sejarah.”
Kehadiran buku Hendrik sangat penting. Selain membuka gerbang menuju arsip-arsip VOC yang belum tergarap, buku ini juga memaparkan kehidupan masyarakat multietnis di Batavia bersama masalahnya sehari-hari. “Dari data itu tersedia informasi yang melimpah, yang menanti digarap. Ini peluang bagi sejarawan,” kata Achmad. “Hendrik tidak melihat Batavia sebagai kota, melainkan sebagai komunitas,” sambung Bondan.
Tapi Hendrik merendah. Dia, yang beroleh segudang arsip, merasa hanya membuat sketsa. “Saya hanya membuat sketsa mengenai Batavia. Masyarakatnya sangat kompleks,” ujarnya. Dia menilai masih banyak peluang bagi sejarawan untuk menyingkap kehidupan masa lalu masyarakat Batavia. Salah satu tema yang belum tergali adalah lelaku beragama antar masyarakat. “Saya kira ini penting untuk membaca kondisi kehidupan beragama masyarakat Jakarta sekarang. Bagaimana orang Islam, Kristen, dan Katolik dulu berinteraksi mungkin ada yang berjejak hingga sekarang.”

Masalah Sossial Nasional



Masalah Kebangsaan dan Peran Kaum Buruh Indonesia
Masalah kebangsaan di Indonesia hari ini menempati posisi yang signifikan. Mungkin kita bertanya: mengapa ini menjadi signifikan untuk kita ulas? Indonesia adalah negara eks kolonial yang telah berhasil mencapai kemerdekaannya dengan serangkaian perjuangan panjangnya. Meskipun, Indonesia telah mencapai kemerdekaannya tidak lantas semua tugas demokratis nasionalnya telah diselesaikan. Secara historis, tugas-tugas demokratik nasional adalah reforma agraria, penyatuan pasar nasional yang independen, pembentukan parlemen yang demokratis, dan pembentukan negara-bangsa. Yang belakangan inilah yang menjadi salah satu masalah pelik di Indonesia. Masalah-masalah kebangsaan yang akhir-akhir ini mencuat ke permukaan, yaitu adanya gerakan dari setiap minoritas kecil bangsa kecil yang menuntut kemerdekaannya, misalnya Timor Leste yang telah mencapai kemerdekaan pada dekade lalu serta sekarang Aceh dan Papua, telah menambah sederetan persoalan nasional yang tak kunjung selesai.Karakteristik munculnya kesadaran nasional dari berbagai minoritas di dalam satu bangsa telah ada bahkan semenjak awal kelahiran kapitalisme. Kapitalisme telah menghancurkan partikularisme feodal dan menghancurkan batasan lokal menjadi suatu pasar yang luas. Sebelum kapitalisme berkembang, masyarakat belum mengidentifikasi dirinya sebagai sebuah entitas bangsa. Mereka mengidentifikasikan dirinya sebagai sebuah kota, desa, dsb. Namun, ketika hubungan produksi lama sudah tidak bisa memenuhi cara produksi baru, entitas masyarakat pun berubah memenuhi corak produksi baru. Feodalisme adalah corak produksi yang bersifat lokal, sementara kapitalisme membutuhkan pasar yang luas. Oleh karenanya kapitalisme mendobrak berbagai lokalitas dan kedaerahan – yang merupakan corak feodalisme – dan menyatukan mereka ke dalam sebuah negara bangsa.Terbentuknya entitas bangsa adalah tugas sejarah progresif kaum borjuis di masa kelahirannya. Mereka menuntut sebuah pasar dan penyatuan wilayah nasional dan inipun bertentangan dengan feodalisme yang berbasis produksi komoditas untuk kepentingan lokal.Atas kepentingan pasar inilah, kapitalisme berupaya untuk memenangkan dominasi di dunia dan menjadi sebuah mesin penindas bagi bangsa-bangsa yang lemah. Dan inilah apa yang disebut sebuah era imperialisme, dimana telah memicu gerakan nasional dari setiap bangsa yang telah dikolonisasi.Jadi, perjuangan nasional dari setiap bangsa mengalami berbagai fitur. Pertama dalam era kelahiran kapitalisme dan yang kedua ialah di dalam era Imperialisme. Perjuangan nasional di era Imperialisme telah mengambil bentuknya ketika Imperialisme ingin memenangkan dominasinya atas negara-negara terbelakang dengan pergolakan invasi dan perang. Kondisi inilah yang telah memicu ledakan perjuangan nasional dari bangsa tertindas untuk mencapai kemerdekaannya. Dalam hal ini, Revolusi kolonial telah berdiri di garis depan.Di Indonesia, perjuangan nasional tidak terlepas dari kondisi ini. Yakni ketika Imperialisme ingin meraih dominasinya. Dengan revolusi kolonial ini, Indonesia telah mempersatukan ribuan pulau, suku, ras menjadi sebuah entitas sebuah bangsa yakni Indonesia. Di negara-negara kapitalis maju seperti Prancis dan Inggris, persatuan negara bangsa lahir dari revolusi borjuis yang menentang feodalisme sebagai musuh utamanya. Di negara eks-kolonial seperti Indonesia dan India, persatuan negara bangsa lahir dari revolusi kolonial – yang juga bercorak revolusi demokratik borjuis, tetapi dengan imperialisme sebagai musuh utamanya.Setelah dipersatukan lewat revolusi kemerdekaan, mengapa di Indonesia sekarang muncul berbagai perjuangan kemerdekaan dari minoritas-minoritas seperti di Aceh dan Papua? Apa yang menyebabkan munculnya perjuangan ini ?Semenjak kelahirannya kapitalisme memberikan kemajuan bagi setiap pertumbuhan tenaga-tenaga produktif. Kompetisi dari pasar telah membuka pasar dan meluasnya perdagangan, dan semakin bertambah besar kapital yang dihasilkan dari dibukanya pasar-pasar baru. Oleh karena itu kita tahu bagaimana kapitalisme merevolusionerkan hubungan produksi dan pertukaran.  Namun sekarang kita temui kapitalisme tidak mampu lagi merealisasikan potensi kekuatan produksi manusia. Ia telah menjadi sebuah rem sejarah bagi perkembangan umat manusia. Krisis yang telah diramalkan sebelumnya oleh Marx telah menjadi momok bagi kehidupan manusia. Seluruh kehidupan manusia telah telah dipertaruhkan dalam spekulan pasar, seperti yang baru-baru ini terjadi dengan krisis finansial 2008 yang mash berlanjut sampai sekarang. Munculnya kembali masalah kebangsaan di Indonesia mencerminkan kebuntuan kapitalisme dalam skala dunia, serta tidak adanya alternatif revolusioner yang sanggup untuk memberikan jalan keluar. Kemiskinan dan keterbelakangan yang diakibatkannya memberikan kesimpulan pada kita bahwa permasalahan nasional adalah permasalahan tentang nasi. Di Papua, ini berakar dari eksploitasi Freeport yang mengangkut kekayaan Papua untuk kapitalis-kapitalis di Jakarta dan dunia. Di Aceh, ini juga berakar dari eksploitasi migas oleh kapitalis-kapitalis Indonesia dan dunia.Tentu saja solusi dari masalah nasional tidak bisa diselesaikan dalam batasan sempit kapitalisme. Borjuis di negara-negara eks kolonial sudah tidak mampu lagi menyelesaikan masalah kebangsaan, atau masalah apapun di dalam masyarakat. Tugas menyelesaikan masalah kebangsaan terletak pada satu-satunya klas yang revolusioner, yakni klas pekerja. Klas pekerja Indonesia menghadapi tugas sejarah yang harus dipikulnya: menyelesaikan masalah kebangsaan di satu sisi, dan penggulingan kapitalisme di sisi lain. Dua tugas ini tidak terpisahkan karena pembebasan yang sejati dari minoritas-minoritas yang tertindas tidak akan tercapai tanpa penggulingan kapitalisme.Perjuangan kemerdekaan Aceh dan Papua telah mengekspresikan keinginannya untuk membentuk tanah air mereka sendiri. Timor Leste telah menjadi contoh bahwa kemerdekaan formal adalah sebuah kemerdekaan semu yang tidak menyelesaikan masalah fundamental rakyat pekerja Timor Leste. Mereka jadi bulan-bulanan kapitalisme dunia, dan kondisi hidup mereka tidak mengalami perubahan fundamental. Hanya sebuah metode dan program sosialis yang mampu menyatukan klas pekerja Aceh, Papua, dan seluruh Indonesia. Kemerdekaan politik tidak akan ada artinya bila tidak ada kemerdekaan ekonomi bagi kaum buruh, yang secara konkrit mensyaratkan nasionalisasi pabrik dan perbankan di bawah kendali buruh dan dijalankan dengan sistem perekonomian terencana. Program ini juga harus disertai dengan seruan pembentukan Federasi Sosialis Asia Tenggara, yang akan menjadi alternatif riil dari dominasi imperialisme. Dengan Federasi ini, buruh dari berbagai negara dapat bahu membahu membangun dunia sosialisme yang berdasarkan persaudaraan dan bukan penindasan manusia atas manusia.

Masalah sosial Regional


PENYELESAIAN MASALAH KAMBOJA



The Paris International Conference on Cambodia pada tahun 1991 yang menandai berakhirnya konflik Kamboja. Secara garis besar pembahasan dalam penyelesaian masalah Kamboja ini dibagi kedalam empat bagian yakni faktor-faktor yang menjadi akar konflik di Kamboja, konflik Kamboja sebagai konflik internal yang akan memberikan gambaran akan latar belakang konflik sejak awal mula terjadinya pergolakan di dalam negeri sehingga Kamboja terjerumus ke dalam konflik internal hingga akhirnya klimaks dari konflik ditandai dengan intervensi Vietnam ke Kamboja yang mengundang reaksi keras dari negara-negara di kawasan serta komunitas internasional, internasionalisasi konflik Kamboja yang akan menjelaskan bagaimana fase konflik memasuki tahap internasionalisasi di mana pendudukan rezim Vietnam di Kamboja tidak hanya mengganggu stabilitas keamanan di kawasan, namun juga menentang norma-norma dan hukum internasional yang berlaku sehingga mengganggu perdamaian dunia, proses penyelesaian konflik Kamboja melalui fase dialog dan mediasi terhitung sejak digelarnya Jakarta Informal Meeting di Indonesia pada tahun 1988.


A.INTERNASIONALISAIKONFLIKKAMBOJA
Pasca invasi rezim Vietnam yang mendirikan pemerintahannya melalui People’s Republic of Kampuchea (PRK) maka spontan hal ini mendapatkan reaksi yang keras dari komunitas internasional. Hal yang menjadi esensi dalam perkembangan konflik di Kamboja ini yaitu kendati dunia telah mengutuk tindakan yang dilakukan oleh DK melalui perbuatan ketidakmanusiannya, namun intervensi kekuatan asing melalui penggunakan kekuatan militernya untuk menjatuhkan rezim yang tengah menjadi sorotan dunia tersebut tetap tidak dapat dibenarkan.

bendera kamboja
Gambar : Bendera Negara Kamboja


Konflik di Kamboja selanjutnya memasuki tahap internasionalisasi yang intensif, di mana tahun-tahun berikutnya perkembangan konflik diwarnai dengan pergolakan di dalam negeri melalui pihak-pihak oposisi yang masing-masing berupaya untuk mengumpulkan kekuatan demi menjatuhkan pemerintahan PRK yang tak lain merupakan kepanjangan tangan Vietnam di Kamboja. Sementara itu, komunitas dunia dalam kerangka regional maupun global mulai meningkatkan perhatiannya terhadap konflik yang telah mencapai antiklimaks. ASEAN sebagai organisasi regional menyadari bahwa implikasi dari pendudukan Vietnam terhadap Kamboja telah merusak visinya untuk menjadikan suatu komunitas Asia Tenggara yang kelak juga akan mengikut sertakan Vietnam, Kamboja dan Laos. Invasi ini juga menjadi perhatian utama ASEAN sebagai aksi solidaritas, Vietnam telah mengancam keamanan Thailand sebagai salah satu anggota ASEAN yang berbatasan langsung dengan Kamboja.

Namun demikian, ASEAN tetap menjaga berbagai batasan yang dihadapi dalam upayanya untuk menyelesaikan konflik. Hal ini dilandasi pada pemikiran bahwa konflik Kamboja pada dasarnya merupakan konflik internal antara kelompok-kelompok Khmer yang mana ASEAN sebagai pihak luar tidak memiliki kewenangan untuk menghalangi atau turut campur.

Untuk itu ASEAN lebih mencoba untuk memanfaatkan pengaruhnya melalui lobi anggota komunitas internasional serta memobilisasi dukungan melalui diplomasi kolektif di forum internasional. Selanjutnya upaya ASEAN untuk menyatukan dukungan dari forum internasional pada akhirnya berhasil tersalurkan ketika Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada bulan Juli tahun 1981 menggelar Konferensi Internasional untuk Kamboja yang dikenal dengan nama International Conference on Kampuchea (ICK). Inilah untuk pertama kali konferensi tingkat internasional digelar untuk merespon dinamika konflik yang tengah bergejolak di Kamboja, sehingga konferensi ini bertujuan untuk menemukan solusi penyelesaian politik yang komprehensif dalam forum multilateral.


B. PERAN ASEAN DALAM PENYELESAIAN MASALAH KAMBOJA
Upaya menuju penyelesaian politik yang menyeluruh dimulai pada tahap regional, di mana dalam menyikapi konflik Kamboja, ASEAN meletakan dasar pemikirannya atas dua hal yaitu, dinamika politik, ekonomi, dan sosial dalam tubuh ASEAN sendiri, dan tingkat encaman eksternal serta situasi regional ataupun internasional yang dapat berpengaruh terhadap persepsi ASEAN dalam penyelesaian masalah tersebut.

Pada tingkat regional, dimulai sejak masa jatuhnya rezim pemerintaan Pangeran Sihanouk di tahun 1970, para Menteri Luar Negeri ASEAN telah mencoba untuk membahas secara intensif konflik yang mulai marak di Kamboja. Negara-negara yang tergabung dalam forum ASEAN ini berupaya untuk mencapai suatu kesepakatan bersama agar dapat merumuskan formulasi yang tepat, sehingga pada mulanya organisasi ini dapat berfungsi sebagai mediator untuk mendamaikan pihak-pihak yang bertikai pada saat itu. Negara-negara menginginkan agar seyogyanya setiap pihak dapat bekerja sama dalam mencegah semakin luasnya konflik yang melanda Kamboja sebagai penghormatan atas Piagam PBB dan juga Konferensi Jenewa tahun 1954 mengenai kawasan Indochina demi menciptakan suasana yang kondusif di Kamboja. Terhitung sejak dibentuknya CGDK sebagai koalisi pemerintahan pada tahun 1982, negara-negara ASEAN secara aktif mendukung resolusi PBB yang mengakui CGDK sebagai badan pemerintah yang sah di Kamboja, dan untuk itu memiliki legitimasi dan hak untuk duduk di Majelis Umum PBB sebagai wakil Kamboja. ASEAN melalui para Menlunya pada tanggal 21 September 1983 mengeluarkan keputusan bersama terhadap upaya rekonsiliasi di Indochina dengan penarikan keluar pasukan Vietnam dari Kamboja dengan batas waktu yang ditentukan.

Selanjutnya dalam komunikasi bersama pertemuan tingkat menteri ASEAN ke 17 yang digelar di Jakarta tanggal 9-10 Juli 1984, para menlu ASEAN menegaskan kembali posisi mereka untuk mencari penyelesaian politik yang komprehensif dan menguatkan keabsahan kemerdekaan Kamboja pada 21 September 1983 sebagai dasar dari penyelesaian politik yang menyeluruh di Kamboja. Hal ini kembali ditegaskan pada serangkaian pertemuan Menlu ASEAN berikutnya yaitu di Jakarta pada November 1983, di Kuala Lumpur pada bulan Desember 1983 dan kembali di Jakarta pada bulan Januari 1984.

Selanjutnya ASEAN mengajukan prakarsa untuk mengundang faksi-faksi yang bertikai di Kamboja agar turut hadir pada peringatan 30 Tahun Konferensi Asia Afrika di Bandung pada April 1985. Dalam pertemuan ini Indonesia dan Malaysia kembali memiliki kesamaan pandangan terhadap penyelesaian konflik Kamboja dengan mencetuskan gagasan Proximity Talks. Pada intinya usulan yang berada di bawah ruang lingkup ASEAN ini bertujuan untuk mempertemukan semua faksi yang bertikai di Kamboja ditambah dengan Vietnam untuk bernegosiasi.

Bagi ASEAN sendiri, upaya ini dilandaskan pada konsep Zone of Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN) yang dicanangkan pada tahun 1971. ZOPFAN menjamin perdamaian, keamanan serta kedaulatan bersama negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang netral dan bebas dari campur tangan pihak luar. Di tingkat global, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada tahun 1981, PBB menggelar Konferensi Internasional untuk Kampuchea (ICK) yang walaupun dinilai tidak terlalu berhasil, namun konferensi ini telah membangun suatu pondasi prakarsa untuk secara konsensus mengupayakan solusi yang komprehensif untuk memelihara perdamaian dan keamanan dunia.

Gagasan pembicaraan intensif antara ASEAN dan pihak-pihak yang bertikai di Kamboja yaitu CGDK dan pemerintahan Heng Samrin di Phnom Penh pada perkembangannya kurang mendapat dukungan dan menemui jalan buntu, baik secara kolektif dari negara-negara ASEAN, maupun dari pihak CGDK dan Vietnam sendiri. Tidak lama setelah itu, tepatnya pada bulan September 1985, Sihanouk mengusulkan suatu Cocktail Party yang dapat mengakomodir pihak-pihak yang bersengketa di Kamboja beserta negara-negara yang terkait untuk dapat membicarakan penyelesaian masalah Kamboja.

Pada bulan November 1985 atau kurang lebih dua bulan setelah itu, Indonesia menyatakan kesediaannya untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan Cocktail Party tersebut. Terhitung sejak wacana Cocktail Party direncanakan, hingga penentuan tanggal pelaksanaan acara tercatat serangkaian kendala yang berpotensi untuk menggagalkan penyelenggaraan acara dimaksud. Munculnya berbagai kendala ini tak lain disebabkan oleh perbedaan pendapat dan agenda kepentingan masing-masing pihak yang bertikai Kendati jalan panjang dan melelahkan harus dilewati untuk merealisasikan rencana gagasan pertemuan tersebut, akhirnya rencana pertemuan resmi pertama tersebut berhasil diadakan pada tanggal 25–28 Juli 1988 di Bogor, Indonesia.

Pertemuan yang dikenal dengan Jakarta Informal Meeting I (JIM I) ini menampilkan terobosan untuk pertama kalinya, di mana pihak-pihak yang secara langsung terlibat di dalam konflik, yaitu keempat faksi, kedua tetangga Indochina dan enam negara ASEAN bertemu untuk mendiskusikan elemen-elemen mekanisme penyelesaian awal. Sekalipun pembicaraan antar faksi berjalan cukup alot karena masing-masing bersikeras mempertahankan posisinya, namun hasil dari pertemuan ini dinilai cukup efektif untuk menyepakati persepsi dan kesepahaman bersama sehingga beberapa rekomendasi dapat dilahirkan dengan penekanan pada pemisahan dua isu yaitu berkaitan dengan invasi Vietnam, Vietnam untuk menarik mundur pasukannya dari Kamboja sebagai itikad baik penyelesaian konflik, kesepahaman mengenai pentingnya pencegahan berkuasanya kembali rezim Pol Pot yang telah mengakibatkan penderitaan bagi rakyat Kamboja, pembentukan kelompok kerja guna membahas elemen-elemen dasar dari konflik itu sendiri dan menyusun usulan-usulan sebegai bahan masukan bagi pertemuan selanjutnya.

Dalam rangka menindaklanjuti JIM I, pada tanggal 16-18 Februari 1989 digelar JIM II yang turut dihadiri oleh negara-negara peserta JIM I. Pada pertemuan ini dapat disepakati berbagai kemajuan yang bersifat teknis sebagai tindak lanjut dan penyeragaman persepsi dari hasil pertemuan pertama. Beberapa hasil yang menonjol diantaranya adalah penarikan seluruh pasukan Vietnam yang harus segera dilakukan dengan batas waktu 30 September 1989 sebagai bagian dari kerangka penyelesaian politik yang menyeluruh. Kemudian dibahas pula mengenai himbauan penghentian keterlibatan pihak asing termasuk dukungan militer dan persenjataan terhadap masing-masing pihak yang bertikai di Kamboja.

Demi terselenggaranya rencana ini dengan baik, maka perlu dibentuk suatu mekanisme pengawasan internasional yang memiliki mandat untuk memonitor jalannya proses ini dan aspek-aspek yang terkait lainnya. Selanjutnya adalah penentuan langkah-langkah konkrit yang harus diambil guna mengantisipasi munculnya kembali kebijakan rezim kekerasan dan kekejaman yang dapat mengakibatkan kesengsaraan masyarakat Kamboja, dan yang tidak ketinggalan adalah kesepakatan dari setiap pihak untuk dimulainya program internasional dalam rangka pemulihan dan pembangunan ekonomi di Kamboja serta negara-negara di kawasan dan pengumpulan dana dalam rangka pelaksanaan proses perdamaian di Kamboja. Pertemuan ASEAN di Brunei pada tanggal 3-4 Juli 1989 telah memformulasikan suatu pijakan bersama atas konflik Kamboja sebagai hasil dari pertemuan JIM I dan JIM II.


C. PERAN PBB DAN ANGGOTA KOMUNITAS INTERNASIONAL LAINNYA
Selain peran ASEAN sebagai aktor eksternal yang memberikan kontribusi terhadap penyelesaian konflik Kamboja, menjelang akhir tahun 1980-an, fokus perhatian telah bergeser dari inisiatif regional menuju internasional. Hal ini ditandai dengan perubahan-perubahan pola interaksi baik dari masing-masing pihak yang berselisih, antara aktor-aktor regional di kawasan Asia Tenggara, hingga negara-negara besar juga merasa berkepentingan untuk memberikan andil terhadap upaya proses penyelesain konflik seperti Perancis dan Australia.

Selanjutnya akan dijelaskan mengenai peran PBB dan anggota komunitas internasional lainnya yang bersama-sama dengan ASEAN telah memberikan andil yang signifikan terhadap proses tercapainya resolusi konflik. Faktor-faktor pendukung kesuksesan dalam penyelesaian konflik yang menyeluruh dapat disandangkan pada pembentukan Supreme National Council (SNC) dan United Nations Transitional Authority in Cambodia (UNTAC).

Kiprah PBB dalam mengupayakan perdamaian di Kamboja diawali dengan diselenggarakannya International Conference on Kampuchea pada tahun 1981. Namun seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, inisiatif ini gagal untuk menghadirkan negara-negara pendukung Vietnam untuk hadir.

Konsep untuk memperluas kerangka penyelesaian secara internasional pun mendapat dukungan dari negara-negara anggota ASEAN seperti yang disepakati bersama pada pertemuan tingkat menteri ASEAN di Bandar Seri Begawan tanggal 21 Januari 1989. Dalam kesepakatan itu, negara-negara ASEAN mulai memandang perlunya melibatkan negara-negara di luar kawasan dan juga perlu diadakannya suatu konferensi internasional untuk menindaklanjuti hasil pencapaian dari JIM yang diadakan di Indonesia. Hal ini disambut baik oleh Perancis yang juga memiliki sejarah kedekatan dengan Kamboja.

Perancis kemudian menggagas prakarsa untuk menyelenggarakan konferensi internasional mengenai Kamboja. Tanpa bermaksud untuk menampik peran Indonesia sebagai partner yang mengantar upaya penyelesaian konflik Kamboja sampai tahapan ini, maka kedua negara memutuskan untuk mengetuai bersama penyelenggaraan Paris International Conference on Cambodia (PIC) di Perancis pada tanggal 30-31 Juli 1989 di Paris, Perancis. Pertemuan yang diketuai bersama oleh Perancis dan Indonesia tersebut turut didukung oleh ASEAN yang bersama dengan 19 negara lainnya berasal baik di dalam kawasan dan juga di luar kawasan yang untuk pertama kalinya turut berpartisipasi dalam pembicaraan lanjutan dari JIM I dan JIM II. Dengan turut hadirnya negara–negara di luar kawasan, maka kerangka dialog dan negosiasi telah semakin diperluas, dan menandakan bahwa tahapan penyelesaian konflik telah mencapai tingkat internasional. Kemajuan ini diharapkan akan membawa warna baru terhadap pola komunikasi, guna segera tercapainya suatu solusi yang konkrit. Hal ini terbukti melalui hasil yang dicapai pada PIC di mana telah disusun sebuah kerangka pembentukan suatu mekanisme pengawasan internasional yang berfungsi untuk mengawasi proses penarikan mundur pasukan Vietnam dan memantau berbagai permasalahan dalam negeri Kamboja.

Namun serangkaian dialog dan negosiasi tersebut masih tetap belum dapat mencapai hasil yang konkrit dan bentuk penyelesaian yang pasti dalam penyelesaian konflik. Satu kemajuan yang dinilai sangat berarti yaitu walaupun terjadi banyaknya kebuntuan melalui media diplomasi. Vietnam tetap memenuhi komitmennya untuk menarik mundur seluruh pasukannya dalam batas waktu yang ditentukan yaitu September 1989.

Inisiatif berskala international telah digagas dan diselenggarakan. Namun fakta di lapangan tidak kunjung menampakan perubahan yang lebih baik. Faksi-faksi yang bertikai kembali terlibat dalam peperangan di Kamboja. Melihat kondisi ini, pihak Australia mengajukan usul mengenai pembentukan suatu badan pengawasan oleh PBB yaitu International Control Commision and Supervision (ICCS) dengan tujuan agar Dewan Keamanan PBB dapat lebih menjajaki aspek penyelesaian konflik secara lebih komprehensif. Hal ini tentunya hanya dapat dilakukan dengan mekanisme pengosongan kursi Kamboja di PBB yang selama ini diisi oleh CGDK serta meniadakan kedaulatan rezim pemerintahan Phnom Penh yang dipimpin oleh Hun Sen. Menindaklanjuti usulan tersebut, lima anggota Dewan Keamanan PBB (DK PBB) kemudian menjajaki kerangka pemerintahan sementara di Kamboja yang aktif bertugas hingga terselenggaranya pemilihan umum.

Melalui berbagai perkembangan tersebut, diselenggarakanlah pertemuan selanjutnya Informal Meeting on Cambodia (IMC) di Jakarta pada tanggal 26-28 Februari 1990. Pertemuan ini dipimpin oleh Menlu Ali Alatas dan berkomposisi peserta yang tidak jauh berbeda dengan peserta pada PIC, hanya ditambah dengan seorang utusan khusus Sekjen PBB Raefuddin Ahmed serta undangan khusus bagi pihak Australia atas apresiasi terhadap usulan yang digagasnya, Australia bertindak sebagai resource delegation, dimana Menlu Australia Gareth Evans yang turut hadir bertindak sebagai narasumber.

Seperti halnya kegagalan yang dicapai pada PIC, hal ini kembali terulang pada IMC di Jakarta. Pertemuan tersebut tidak mampu untuk mencapai suatu kesepakatan bersama karena pemimpin Khmer Merah, Khieu Sampan menolak pencantuman kata genosida dalam naskah kesepakatan yang telah dirancang dan mendapatkan persetujuan dari seluruh peserta. Di lain pihak, Hun Sen juga menyatakan tidak bersedia untuk menerima referensi Vietnamisasi pada rancangan naskah tersebut. Dengan demikian teks komunike bersama tersebut praktis menjadi gugur. Hal ini disebabkan karena sistem pengambilan keputusan didasarkan pada kebulatan suara sekalipun secara prinsip, pertemuan telah berhasil mencapai kemajuan-kemajuan yang signifikan yang dapat diterima oleh semua pihak.

Kendati tidak menghasilkan suatu dokumen atau kesepakatan yang bisa dijadikan landasan bagi usaha penyelesaian selanjutnya, namun dapat dicatat bahwa hasil yang menonjol dari pembahasan tersebut adalah persetujuan seluruh pihak atas pembentukan Dewan Agung Nasional atau Supreme National Council (SNC) yang akan bertindak sebagai pemerintah sementara di Kamboja. Terobosan ini tak disangkal mencatat kemajuan yang sangat signifikan sebagai lambang kedaulatan dan kesatuan nasional Kamboja. Sementara itu, komposisi jabatan dan tanggung jawab dari SNC itu sendiri akan ditentukan kemudian oleh keempat faksi.

SNC dipastikan akan mendapat dukungan dari dunia internasional. Dalam rangka mensukseskan rencana ini, maka peran negara besar seperti Amerika Serikat sangatlah dibutuhkan mendorong CGDK agar rela turun dari kursinya di PBB sehingga dapat memberi kesempatan kepada SNC untuk mewakili kursi Kamboja baik di Majelis Umum PBB ataupun di badan-badan khusus lainnya dan memberikan tekanan kepada musuh lamanya yaitu Vietnam agar bersedia untuk segera menyelesaikan masalah Kamboja. Dalam kaitan ini, pihak Amerika Serikat yang belum lama ini keluar sebagai pemenang dalam masa Perang Dingin, maka perubahan politik dunia ini secara tidak langsung akan meningkatkan pengaruh pihak Amerika Serikat terhadap proses penyelesaian konflik di Kamboja.

Dalam konteks proses negosiasi dapat dikatakan bahwa upaya yang dilakukan oleh pihak Perancis untuk melibatkan komunitas internasional melalui PIC belum dapat menghasilkan terobosan-terobosan baru demi tercapainya penyelesaian yang menyeluruh atas konflik di Kamboja. Apabila dibandingkan dengan pendekatan-pendekatan informal yang dilakukan oleh Indonesia dan ASEAN pada tahapan-tahapan awal yaitu untuk mempertemukan keempat faksi yang bertikai agar dapat duduk bersama di JIM dan IMC. Kemajuan yang sangat terbatas ini hanya berdampak pada penderitaan rakyat Kamboja yang semakin berkepanjangan. Pertikaian yang menggunakan kekerasan masih kerap terjadi, baik di dalam tubuh CGDK sendiri ataupun antara faksi yang tergabung dalam CGDK dengan rezim Phnom Penh dukungan Vietnam.

Atas dasar perkembangan di atas, maka diadakanlah IMC kedua pada tanggal 9-10 September 1990 di Jakarta. Pada pertemuan ini kembali Indonesia dan Perancis bertindak sebagai ketua bersama. Seperti yang sudah dirancang sebelumnya, Dewan Keamanan membentuk SNC (Supreme National Council) yang bertindak sebagai wakil pemerintahan yang sah atas Kamboja di forum internasional. Dalam pernyataan bersama yang dihasilkan pada pertemuan ini, secara kompromi seluruh faksi yang bertikai di Kamboja menanggapi secara positif kerangka kerja ini sebagai basis dari skema penyelesaian komprehensif.

Pembentukan SNC berkomposisi dua belas anggota yang terdiri dari enam anggota State of Cambodia (SOC) dan dua dari masing-masing ketiga faksi dalam Government of Cambodia (NGC). Kesepakatan yang berhasil dicapai ini kemudian didukung oleh Dewan Keamanan, yang langsung mengadopsi suatu resolusi PBB guna mengesahkan kerangka kerja tersebut sebagai basis dari suatu penyelesaian yang komprehensif di Kamboja (Resolusi No. 668 Th.1990).

Pasca pembentukan SNC oleh Dewan Keamanan, Sekjen PBB kemudian menggagas dibentuknya United Nations Advance Mission in Cambodia (UNAMIC) yang memiliki fungsi untuk memantau pelaksanaan gencatan senjata masing-masing faksi di Kamboja selama periode pembentukan United Nations Transitional Authority in Cambodia (UNTAC). Usulan ini kemudian disahkan oleh Dewan Keamanan PBB melalui Resolusi No. 717 tanggal 16 Oktober 1991, dan pembentukan UNAMIC segera diaktifkan setelah ditandatanganinya comprehensive settlement agreements. Perkembangan selanjutnya, diusulkanlah penyelenggaraan pertemuan lanjutan untuk membantu memformulasikan suatu pijakan final bersama atas konflik Kamboja. Kemudian lima anggota Dewan Keamanan PBB mengajukan suatu dokumen yang berjudul ’Framework for a Comprehensive Political Settlement of the Cambodian Conflict’ yang diantara isinya mengajukan ketentuan untuk membentuk otoritas transisional PBB di Kamboja atau UNTAC. UNTAC ditujukan untuk mengimplementasikan penyelesaian yang komprehensif dalam rangka memastikan situasi yang kondusif dalam lingkungan politis yang netral sehingga pemilihan umum dapat terlaksana dengan bebas dan adil. Pihak-pihak serta lembaga-lembaga administrasi pemerintah yang memiliki wewenang terhadap pelaksanaan pemilu, akan diawasi langsung oleh UNTAC. Namun yang menjadi tugas utama dari UNTAC adalah pengawasan genjatan senjata antara faksi-faksi yang bertikai dan memverifikasi penarikan mundur pasukan asing dari Kamboja.

Dari seluruh uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konflik Kamboja telah melewati suatu metamorfosa atau proses pembentukan yang telah mencapai kematangan. Historis konflik Kamboja yang panjang akhirnya berhasil diselesaikan melalui upaya mediasi yang komprehensif melalui serangkaian tindakan yang dilakukan oleh para mediator dengan didasarkan pada hukum-hukum internasional yang berlaku. Serangkaian pembicaraan formal dan non formal yang melibatkan banyak pihak pada akhirnya mampu melahirkan kesepakatan Paris yang ditandatangani dalam Paris International Conference on Cambodia pada tahun 1991. Kesepakatan Paris telah muncul sebagai suatu kerangka kerja yang sah bagi penyelesaian konflik Kamboja sekaligus menjadi pertanda berakhirnya konflik berkepanjangan di Kamboja.

Kesepakatan Paris yang merupakan hasil akhir dari rangkaian proses perdamaian Kamboja selanjutnya menandai suatu awal baru bagi kehidupan Kamboja selanjutnya. Kesepakatan Paris tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut:

Sabtu, 03 November 2012

Hubungan Internasional politik


OBAMA vs ROMNEY


Aborsi, imigrasi dan hak kaum homoseksual. Tema-tema itu tidak tentukan hasil pemilu, tetapi sebabkan polarisasi pemilih. Politik mana yang diwakili Barack Obama dan penantangnya Mitt Romney? Dan sejak kapan?
Dulu, bagi Mitt Romney tidak penting, apakah seorang rekannya di perusahaan Bain Capital homoseksual atau tidak. Yang penting hasil kerjanya. Ketika berkampanye untuk menjadi gubernur di negara bagian Massachusetts yang liberal, ia menyatakan dalam sebuah acara debat, ia akan mempertahankan undang-undang yang menetapkan hak perempuan untuk memutuskan aborsi.
Sekarang, Romney jadi berhaluan kanan. Ia mendefinisikan pernikahan sebagai "hubungan antara seorang pria dan seorang perempuan", dan menuntut penambahan menyangkut hal itu dalam konstitusi AS. Ia sekarang juga menentang aborsi. Ia ingin, agar keputusan mahkamah tertinggi dari tahun 1973, dalam kasus antara Roe lawan Wade, yang menjamin hak perempuan untuk memutuskan aborsi, dicabut oleh pengadilan yang sama.
Republican presidential candidate and former Massachusetts Governor Mitt Romney speaks at a town hall meeting campaign stop at USAeroteam in Dayton, Ohio March 3, 2012. REUTERS/Brian Snyder (UNITED STATES - Tags: POLITICS ELECTIONS) // eingestellt von se 
Mitt Romney
Pernikahan homoseksual dan aborsi termasuk banyak tema, di mana Romney, yang jadi calon presiden, berbeda pandangan dengan Romney, yang menjadi gubernur Massachusetts. "Tampaknya ia tidak punya nilai-nilai dasar atau posisi yang diwakilinya secara berkala," kata pakar politik Thomas Mann dalam wawancara dengan Deutsche Welle. Pakar dari tangki pemikir Brookings Instituts di Washington DC itu juga menekankan, bahwa Romney butuh dukungan Partai Republik, jika ia ingin dipilih menjadi presiden. Jadi setelah pemilu pun, ia tidak dapat kembali ke posisi sebelumnya yang liberal, karena "ia akan kehilangan dukungan sepenuhnya, di partai manapun."
Aborsi dan Pernikahan Homoseksual
Presiden Obama baru-baru ini juga mengubah pandangannya tentang pernikahan homoseksual. Tanggal 9 Mei 2012 ia menyatakan dalam sebuah wawancara televisi, ia sadar, bahwa "pernikahan homoseksual harus diijinkan." Dengan demikian ia mengikuti tren yang berlaku di AS. Sepuluh tahun lalu, sebagian besar rakyat AS menentang, jika pasangan homoseksual mendapat hak-hak sama seperti pasangan heteroseksual. Sekarang, jumlah orang yang menentang sangat berkurang. Terutama pendukung Partai Demokrat, pemilih independen dan kaum muda menyokong pandangan liberal tersebut.
External view of the North Portico of the White House in Washington, D.C. on Monday, November 14, 2011 looking across the North Lawn from the sidewalk on Pennsylvania Avenue..Credit: Ron Sachs / CNP
Gedung Putih, gambar simbol pemilu presiden
Berkaitan dengan aborsi, AS juga terpecah-belah. Tetapi tren bergerak ke menjauh dari pandangan liberal. Tema ini lebih bersifat emosional daripada masalah pernikahan homoseksual, dan dalam beberapa tahun terakhir para penentang aborsi berhasil meyakinkan sebagian besar warga AS. Namun Presiden Obama sejak dulu secara konsekuen mendukung hak perempuan untuk memutuskan aborsi, dan adanya proses legal untuk aborsi.
Politik Imigrasi
Dalam politik imigrasi, Mitt Romney dan Barack Obama juga berselisih pandang, tetapi memiliki persamaan pula. Presiden Obama menghendaki reformasi undang-undang imigrasi. Ia ingin memberikan kesempatan bagi sekitar 11 juta imigran ilegal di AS untuk memperoleh status legal. Partai Republik memblokir apa yang disebut "DREAM Act", sebuah usulan udang-undang, yang menetapkan imigran ilegal bisa mendapat ijin tinggal resmi jika memenuhi persyaratan tertentu. Misalnya, jika imigran itu dibawa ke AS ketika masih di bawah usia dewasa, menyelesaikan sekolah menengah atas, ikut wajib militer selama dua tahun atau punya ijazah universitas.
Republican vice presidential candidate Rep. Paul Ryan, R-Wis. campaigns at the Peterbilt Truck & Parts Equipment company in Sparks, Nev., Friday, Sept. 7, 2012. (Foto:Cathleen Allison/AP/dapd)Paul Ryan, calon wakil presiden dari Partai Republik
Karena Obama tidak berhasil meloloskan "DREAM Act", ia menetapkan lewat dekrit penghentian deportasi bagi imigran ilegal berusia muda. Kriterianya sama seperti pada usulan undang-undang itu, tetapi terbatas dari segi waktu. Bagi jutaan warga muda ini berarti mereka masih bisa berada di negara, di mana mereka besar, untuk sementara waktu. Karena di lain pihak, kantor imigrasi di bawah Presiden Obama melaksanakan undang-undang dengan sangat ketat. Jumlah deportasi meningkat secara signifikan. Setiap tahun jumlahnya mencapai 400.000 kasus, jadi sektiar 30% lebih tinggi dari di masa jabatan kedua Presiden George W. Bush.
Calon presiden Mitt Romney juga ingin mereformasi undang-undang imigrasi, dan mengkritik Obama, karena Obama tidak melakukannya selama ini. Tetapi Romney menolak amnesti. Baik Obama maupun Romney tidak ingin memecah-belah keluarga. Keduanya juga ingin memudahkan mahasiswa dan tenaga kerja asing yang berkualifikasi tinggi untuk mendapat ijin tinggal di AS. Paul Ryan, yang akan menjadi wakil presiden jika Romney menang, menolak DREAM Act di Kongres. Ia juga ingin mendirikan pagar berteknologi tinggi di sepanjang perbatasan antara AS dan Meksiko.
Dampak Jangka Panjang
U.S. President Barack Obama addresses delegates and accepts the 2012 U.S Democratic presidential nomination during the final session of Democratic National Convention in Charlotte, North Carolina, September 6, 2012. REUTERS/Jessica Rinaldi (UNITED STATES - Tags: ELECTIONS POLITICS)Barack Obama
Di antara tiga tema-tema sosial tersebut, debat soal imigrasi adalah tema terpenting, karena jumlah warga keturunan Amerika Latin semakin bertambah. Demikian dikatakan pakar politik Thomas Mann. "Dan masalah politik imigrasi bagi kelompok ini punya nilai simbolis yang tinggi, meskipun banyak dari mereka tidak langsung terkait," ujar Mann sambil menambahkan, "Bergeraknya Partai Republik ke haluan kanan sejak Presiden George W. Bush memungkinan Partai Demokrat mendapat lebih banyak suara dari kelompok masyarakat ini."
Dalam pemilihan presiden kali ini, aborsi, politik imigrasi dan pernikahan homoseksual tidak selalu menjadi fokus tim kampanye kedua belah pihak. Yang paling penting, seperti biasa, politik ekonomi. Tetapi, untuk jangka panjang pandangan kedua partai terutama menyangkut imigrasi dan pernikahan homoseksual bisa menjadi penting, ujar Mann. Ia menambahkan, "Jika Partai Republik membiarkan dukungan dari kelompok keturunan Amerika Latin semakin kecil, dan jika pemilih berusia muda mendukung Partai Demokrat, situasi bisa menjadi sangat sulit bagi Partai Republik."