Jumat, 13 Januari 2012

tugas tulisan ibd ke 4

Hasil Budaya yang Berkaitan Manusia Dengan Kegelisahan

Kegelisahan didalam kedinginan
Meniti sepi keseorangan
Sebuah kematian yang tiada bernisan
Sendu mengiringi perpisahan
Ruang nan luas diri bergerak bebas
Namun keupayaanku terbatas
Segala mimpi menjadi asing
Perit membakar diri
Sebuah cinta dan harapan
Menjadi mimpi berterbangan
Tersekat nafasku kabur pandangan mataku
Amat tersiksa diriku
Kerana kehilanganmu
Oh mengapakah terus mengharap menanti
Walau cukup kusedari
Kau tak kan kembali
Pemergianmu mengisi kekosongan
Biarpun dikau masih kuperlukan
Kita dikatakan pasangan bahagia
Kini terasing luka


Sumber    :   



Hasil Budaya berkaitan dengan Manusia Dan Tanggung Jawab

Bermacam-macam hasil budaya dari sebuah tanggung jawab. Berikut hasil budaya orang tua untuk mendidik anak sejak usia dini agar menjadi anak yang bertanggung jawab:



1. Memberi teladan yang baik.

Dalam mengajarkan tanggung jawab kepada anak, akan lebih berhasil dengan memberikan suatu teladan yang baik. Cara ini mengajarkan kepada anak bukan saja apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara melakukannya, akan tetapi juga bagaimana orangtua melakukan tugas semacam itu.


2. Tetap dalam pendirian dan teguh dalam prinsip.

Dalam hal melakukan pekerjaan, orangtua harus melihat apakah anak melakukannya dengan segenap hati dan tekun. Sangat penting bagi orangtua untuk memberikan suatu perhatian pada tugas yang tengah dilakukan oleh si anak. Janganlah sekali-kali kita menunjukkan secara langsung tentang kesalahan-kesalahan anak, tetapi nyatakanlah bagaimana cara memperbaiki kesalahan tersebut. Dengan demikian orantua tetap dalam pendirian, dan teguh dalam prinsip untuk menanamkan rasa tanggung jawab kepada anaknya.


3. Memberi anjuran atau perintah hendaknya jelas dan terperinci.

Orangtua dalam memberi perintah ataupun anjuran, hendaklah diucapkan atau disampaikan dengan cukup jelas dan terperinci agar anak mengerti dalam melakukan tugas yang dibebankan kepadanya.


4. Memberi ganjaran atas kesalahan.

Orangtua hendaknya tetap memberi perhatian kepada setiap pekerjaan anak yang telah dilakukannya sesuai dengan kemampuannya. Tidak patut mencela pekerjaan anak yang tidak diselesaikannya. Kalau ternyata anak belum dapat menyelesaikan pekerjaannya saat itu, anjurkanlah untuk dapat melakukan atau melanjutkannya besok hari. Dengan memberikan suatu pujian atau penghargaan, akan membuat anak tetap berkeinginan menyelesaikan pekerjaan itu. Seringkali orangtua senang menjatuhkan suatu hukuman kepada anak yang tidak berhasil menyelesaikan tugasnya. Andaikan memungkinkan lebih baik memberikan ganjaran atas kesalahan dan tidak semata-mata mempermasalahkannya.

5. Jangan terlalu banyak menuntut.

Orangtua selayaknya tidak patut terlalu banyak menuntut dari anak, sehingga dengan sewenang-wenang memberi tanggung jawab yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Berikanlah tanggung jawab itu setahap demi setahap, agar si anak dapat menyanggupi dan menyenangi pekerjaan itu.

Suatu kebiasaan yang keliru pada orang tua dalam hal mendidik anak, adalah bahwa mereka seringkali sangat memperhatikan dan mengikuti emosinya sendiri. Tetapi sebaliknya emosi anak-anak justru kurang diperhatikan. Orangtua boleh saja marah kepada anak, akan tetapi jagalah supaya kemarahan yang dinyatakan dalam tindakan seperti omelan dan hukuman itu benar-benar tepat untuk perkembangan jiwa anak. Dengan perkataan lain, marahlah pada saat si anak memang perlu dimarahi.

Anak-anak yang sudah mampu berespon secara tepat, adalah anak yang sudah mampu berfikir dalam mendahulukan kepentingan pribadi. Dan anak seperti ini sudah tinggal selangkah lagi kepada pemilikan rasa tanggung jawab.

Pada hakekatnya tanggung jawab itu tergantung kepada kemampuan, janganlah lantas kita mengatakan bahwa anak yang berusia tujuh tahun itu tidak mempunyai tanggung jawab, karena tidak menjaga adiknya secara baik, sehingga si adik terjatuh dari atas tembok. Sesungguhnya anak yang baru berusia tujuh tahun tidak akan mampu melakukan hal seperti itu. Jelaslah bahwa beban tanggung jawab yang diserahkan pada seorang anak haruslah disesuaikan dengan tingkat kematangan anak. Untuk itu dengan sendirinya orangtua merasa perlu untuk lebih jauh mengenal tentang kemampuan anaknya.

Dalam memberikan anak suatu informasi tentang hal yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan adalah sangat penting. Tanpa pengetahuan ini anak tidak bisa disalahkan bila ia tidak mau melakukan apa yang seharusnya ia lakukan. Namun untuk sekedar memberitahu secara lisan, seringkali tidak cukup. Orangtua juga harus bisa menjelaskan dengan contoh bagaimana caranya melakukan hal tersebut, disamping harus dijelaskan alasan-alasan mengapa hal itu harus dilakukan, atau tidak boleh dilakukan.
Biasanya kita cenderung untuk melihat rasa tanggung jawab dari segi- segi yang konkrit, seperti: apakah tingkah lakunya sopan atau tidak; kamar anak bersih atau tidak; apakah si anak sering terlambat datang ke sekolah atau tidak; dan sebagainya.

Seorang anak bisa saja berlaku sopan, datang ke sekolah tepat pada waktunya, tetapi masih juga membuat keputusan-keputusan yang tidak bertanggungjawab. Contoh seperti ini seringkali kita jumpai terutama pada anak-anak yang selalu mendapatkan instruksi atau petunjuk dari orangtua mengenai apa yang mesti mereka kerjakan, sehingga mereka kurang mendapat kesempatan untuk mengadakan penilaian sendiri, mengambil keputusan sendiri serta mengembangkan norma-norma yang ada dalam dirinya.

Rasa tanggung jawab sejati haruslah bersumber pada nilai-nilai asasi kemanusiaan. Nilai-nilai tidak dapat diajarkan secara langsung. Nilai-nilai dihirup oleh anak dan menjadi bagian dari dirinya hanya melalui proses identifikasi, dengan pengertian lain, anak menyamakan dirinya dengan orang yang ia cintai dan ia hormati serta berusaha meniru mereka. Contoh hidup yang diberikan orangtua, akan menciptakan suasana yang diperlukan untuk belajar bertanggung jawab. Pengalaman-pengalaman konkrit tertentu memperkokoh pelajaran itu, sehingga menjadi bagian dari watak dan kepribadian anak.
Jadi jelaslah, bahwa masalah rasa tanggung jawab pada anak, akhirnya kembali pada orangtuanya sendiri, atau dengan kata lain terulang pada nilai-nilai dalam diri orangtua, yaitu seperti tercermin dalam mengasuh dan mendidik anak.



Referensi:

http://yodi-adhari.blogspot.com/2010/04/pengertian-tanggung-jawab.html

http://hadi-detected.blogspot.com/2011/06/pengertian-tanggung-jawab.html

http://doctorgila.blogspot.com/2012/01/kaitan-antara-hasil-budaya-dengan.html

iadamayansis.blogspot.com/2012/01/hasil-budaya-berkaitan-dengan-tanggung.html

Selasa, 10 Januari 2012

tulisan ibd ke-3

KASUS PENDERITAAN

Kasus Lumpur Lapindo, Mau Dibawa Kemana?


Oleh : Arnaldi Nasrum, Tegal Parang, Mampang, Jakarta Selatan
29 Mei 2011 nanti, tepat 5 tahun kasus Lapindo. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, kasus ini semakin tenggelam di tengah banyaknya permasalahan yang terjadi di Indonesia. Atau mungkin saja sengaja ditenggelamkan. Kasus yang terjadi sejak 29 Mei 2006 ini semakin tidak jelas saja penyelesaiannya. Pemerintah seakan-akan lupa dengan peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur ini.
Kasus lumpur Lapindo menjadi pukulan bagi warga Porong yang sekaligus menjadi sorotan utama publik. Bagiamana tidak, peristiwa meluapnya lumpur Lapindo ini telah menenggelamkan seluruh tanah, rumah dan harapan warga porong yang mendapatkan simpati besar dari masyarakat Indonesia. Semakin hari luapan lumpur Lapindo semakin meluas. Konsekuensinya, lumpur Lapindo telah menyebabkan tergenangnya kawasan pertanian, pemukiman, dan perindustrian di tiga kecamatan sekitarnya. Hal ini tentunya sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat setempat. Terdapat 60 ribu lebih orang mengungsi. Selain itu, banyak gedung sekolah dan berbagai sarana umum seperti jalan tol, listrik, pipa gas, air minum dan telekomunikasi yang terganggu bahkan tak bisa lagi digunakan.
Tentu saja dalam hal ini yang menjadi korban adalah masyarakat setempat. Potret penderitaan korban lumpur Lapindo yang berlarut-larut hingga empat tahun lebih ini seharusnya tidak perlu terjadi jika sejak awal warga Porong diberikan informasi yang benar. Sebelum pengeboran, saat terjadinya semburan lumpur hingga setelah lumpur menenggelamkan Porong, masyarakat sering menerima penyesatan informasi. Dengan kata lain, warga Porong tidak mendapatkan informasi yang cukup mengenai resiko bencana ekologi dari pengeboran yang dilakukan di wilayah Porong. Kondisi geologi mengenai adanya potensi bencana justru baru dipetakan dan kemudian diinformasikan setalah muncul semburan lumpur. Kini semuanya nampak telah terlambat. Hal ini diperparah lagi dengan gencarnya pencitraan yang dilakukan lewat media. Tidak jarang kita melihat media yang selalu mengangkat pemberitaan mengenai lumpur Sidoarjo, bukan lumpur Lapindo. Hal ini tentunya mengindikasikan adanya upaya pengalihan persepsi masyarakat.
Di lain hal, dalam upaya penyelesaian kasus tersebut, pemerintah dinilai tidak serius dan cenderung hanya memberikan solusi dangkal. Hal ini terlihat dari penetapan kawasan lumpur Lapindo sebagai kawasan wisata geologi yang sekaligus dinilai sebagai penghinaan logika. Permasalahan lumpur Lapindo yang saat ini terus bergulir bukan lagi sekedar persoalan semburan lumpur, akan tetapi persoalan ini telah dipolitisasi sehingga lari dari penyelesaian masalah secara substansi.
Dalam kasus ini, Polda Jawa Timur telah menetapkan 12 tersangka, yaitu 5 orang dari PT Medici Citra Nusantara, 3 orang dari PT Lapindo Brantas, 1 orang dari PT Energi Mega Persada dan 3 orang dari PT Tiga Musim Jaya. Para tersangka dijerat Pasal 187 dan Pasal 188 KUHP dan UU No 23/1997 Pasal 41 ayat 1 dan Pasal 42 tentang pencemaran lingkungan, dengan ancaman hukum 12 tahun penjara.
Namun polisi sangat salah jika melakukan proses hukum terhadap 12 orang tersangka tersebut. Dalam pasal 46 UUPLH (Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup) tuntutan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam suatu korporasi. Sedangkan pihak yang ditetapkan sebagai tersangka adalah orang lapangan yang melakukan pekerjaan teknis saja. Kita mengetahui bahwa Lapindo dimiliki oleh dua pengusaha besar yaitu Aburizal Bakrie dan Arifin Panigoro. Seharusnya kedua orang tersebutlah yang dikenai tanggung jawab oleh polisi.
Ada kepentingan yang bermain di belakang kasus ini. Presiden telah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 14/2007. Melalui Perpres tersebut pemerintah telah menetapakan bahwa PT Lapindo Brantas harus bertanggung jawab atas bencana lumpur lapindo. Namun hal yang aneh adalah pemerintah membatasi area yang akan menjadi tanggung jawab Lapindo. Padahal yang terjadi di lapangan adalah luapan tersebut melebar hingga menenggelamkan desa lain. Hal ini menimbulkan konflik di antara masyarakat sendiri. Selain itu PT Lapindo hanya membayarkan uang ganti rugi sebesar dua puluh persen dan sisanya ditanggung oleh pemerintah lewat APBN. Hal ini sangat tidak logis dan aneh. Dalam UUPLH, poluter harus membayarkan kerugian yang diderita. Tanggung jawab mutlak melekat pada poluter dan ditanggung secara penuh oleh poluter. Sehingga dalam kasus ini terasa janggal karena APBN dikorbankan untuk membantu Lapindo.
Dalam penyelesaian kasus lumpur Lapindo, pemerintah tentunya diharapkan mengambil langkah-langkah konkret dengan memperhatikan kepentingan rakyat. Banyak harapan yang muncul, tidak hanya dari warga porong setempat tapi juga warga Indonesia yang selalu menanti senyuman para korban.

KASUS PENGADILAN
Kasus sandal jepit di indonesia Mendunia. Indonesia memiliki simbol ketikdakadilan baru,  sandal jepit. Begitulah berita-berita dari media asing. Aksi pengumpulan sandal jepit, baru atau lawas, pun mendunia. Aneka judul menghiasi media massa asing, mulai media Singapura hingga AS. Ada yang memberi judul “Indonesians Protest With Flip-Flops”, “Indonesians have new symbol for injustice: sandals”, “Indonesia’s Flip-Flop Revolution”, “Indonesians dump flip-flops at police station in symbol of frustration over uneven justice”, maupun “Indonesians fight injustice with sandals”.
Vonis hakim Pengadilan Negeri Palu, Sulawesi Tengah yang menyatakan AAL (15) bersalah mencuri sandal milik Briptu Ahmad Rusdi,  yang dijatuhkan pada Rabu 4 Januari 2012 malam, membuat Sekretaris  Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), M Ikhsan geleng kepala.
Menurut dia, meski AAL tak jadi dibui dan dikembalikan ke pembinaan keluarga, putusan tersebut tetap tak bisa diterima.  Sebab, ada sejumlah keanehan dalam perkara ini. “Pertama, dalam proses persidangan dan pemeriksaan barang bukti dan saksi-saksi, juga hasil investigasi, tidak terbukti AAL bersalah. Ia tak mencuri, tapi memungut sandal di pinggir jalan,”
Sandal yang ia pungut bukan milik Briptu Ahmad. Yang diambil sandal Eiger, yang diaku dan jadi barang bukti, sandal merek Ando. “Harusnya AAL divonis bebas,” tambah dia.
Ikhsan menambahkan, putusan bersalah juga akan mempengaruhi masa depan AAL. “Seumur hidup ia akan menanggung beban psikologis sebagai pencuri sandal. Ini berbahaya bagi perkembangan anak,” kata dia.
KPAI pun melaporkan hakim yang memvonis AL ke Komisi Yudisial. Juga ke Kejaksaan, Mahkamah Agung, dan Kementerian Hukum dan HAM untuk mengadukan masalah ini. Sementara, pengacara AAL, Elvis Kanuvu langsung menyatakan banding.
Bagaimana dengan Briptu Ahmad Rusdi Harahap, korban pencurian yang melakukan penganiayaan terhadap AAL?
Jangankan sampai ke pengadilan, oknum anggota polisi ini tak diproses pidana. Ia baru dijatuhi sanksi sidang disiplin yang di gelar di Markas Komando Brimob Polda Sulteng, Kamis 5 Januari 2012.
Sanksi dibenarkan tim reaksi cepat dari Kementerian Sosial, Devi Tiomana, yang mendampingi AAL dan keluarganya saat sidang disiplin digelar. Ia menjelaskan, sidang digelar di Ruang Rupatama yang dipimpin oleh ketua majelis hakim, Komisaris Polisi Indra Budiawan.
Dalam sidang yang berlangsung sekitar 1 jam tersebut, Briptu Ahmad Rusdi dinyatakan terbukti bersalah karena melakukan penganiayaan terhadap AAL. Ia dinyatakan melanggar etik karena tidak mampu mengayomi masyarakat sebagaimana tanggungjawab tugasnya. “Makanya, majelis hakim menjatuhkan sanksi sebanyak empat item, yakni teguran tertulis, penundaan kenaikan pangkat, mutasi, serta kurungan di ruangan khusus selama 21 hari,” kata Devy saat dihubungi dari Makassar.
Dan kini Berita Kasus Sandal Jepit Nongol di Washington Post
Di sela berita soal mulai panasnya politik Amerika Serikat menjelang pemilihan presiden, menyeruak berita yang ‘menyegarkan’, kasus pencurian sandal jepit di Indonesia. Dalam tulisannya, media sohor AS ini mengangkat sandal jepit yang mereka tulis sebagai ‘simbol baru untuk frustrasi mereka akan keadilan’.

tulisan ibd ke-2

contoh cerpen

sang primadona

Apa yang harus aku lakukan? Berilah aku saran! Aku benar-benar pusing.
Apabila masalahku ini berlarut-larut dan aku tidak segera menemukan pemecahannya, aku khawatir akan berdampak buruk terhadap kondisi kesehatan dan kegiatanku dalam masyarakat. Lebih-lebih terhadap dua permataku yang manis-manis: Gita dan Ragil.

Tapi agar jelas, biarlah aku ceritakan lebih dahulu dari awal.
Aku lahir dan tumbuh dalam keluarga yang -katakanlah-- kecukupan. Aku dianugerahi Tuhan wajah yang cukup cantik dan perawakan yang menawan. Sejak kecil aku sudah menjadi "primadona" keluarga. Kedua orang tuaku pun, meski tidak memanjakanku, sangat menyayangiku.

Di sekolah, mulai SD sampai dengan SMA, aku pun --alhamdulillah-juga disayangi guru-guru dan kawan-kawanku. Apalagi aku sering mewakili sekolah dalam perlombaan-perlombaan dan tidak jarang aku menjadi juara.

Ketika di SD aku pernah menjadi juara I lomba menari. Waktu SMP aku mendapat piala dalam lomba menyanyi. Bahkan ketika SMA aku pernah menjuarai lomba baca puisi tingkat provinsi.

Tapi sungguh, aku tidak pernah bermimpi akhirnya aku menjadi artis di ibu kota seperti sekarang ini. Cita-citaku dari kecil aku ingin menjadi pengacara yang di setiap persidangan menjadi bintang, seperti sering aku lihat dalam film. Ini gara-gara ketika aku baru beberapa semester kuliah, aku memenangkan lomba foto model. Lalu ditawari main sinetron dan akhirnya keasyikan main film. Kuliahku pun tidak berlanjut.

Seperti umumnya artis-artis popular di negeri ini, aku pun kemudian menjadi incaran perusahaan-perusahaan untuk pembuatan iklan; diminta menjadi presenter dalam acara-acara seremonial; menjadi host di tv-tv; malah tidak jarang diundang untuk presentasi dalam seminar-seminar bersama tokoh-tokoh cendekiawan. Yang terakhir ini, boleh jadi aku hanya dijadikan alat menarik peminat. Tapi apa rugiku? Asal aku diberi honor standar, aku tak peduli.

Soal kuliahku yang tidak berlanjut, aku menghibur diriku dengan mengatakan kepada diriku, "Ah, belajar kan tidak harus di bangku kuliah. Lagi pula orang kuliah ujung-ujungnya kan untuk mencari materi. Aku tidak menjadi pengacara dan bintang pengadilan, tak mengapa; bukankah kini aku sudah menjadi superbintang. Materi cukup."

Memang sebagai perempuan yang belum bersuami, aku cukup bangga dengan kehidupanku yang boleh dikata serba kecukupan. Aku sudah mampu membeli rumah sendiri yang cukup indah di kawasan elite. Ke mana-mana ada mobil yang siap mengantarku. Pendek kata aku bangga bisa menjadi perempuan yang mandiri. Tidak lagi bergantung kepada orang tua. Bahkan kini sedikit-banyak aku bisa membantu kehidupan ekonomi mereka di kampung. Sementara banyak kawan-kawanku yang sudah lulus kuliah, masih lontang-lantung mencari pekerjaan.

Kadang-kadang untuk sekadar menyenangkan orang tua, aku mengundang mereka dari kampung. Ibuku yang biasanya nyinyir mengomentari apa saja yang kulakukan dan menasehatiku ini-itu, kini tampak seperti sudah menganggapku benar-benar orang dewasa. Entah kenyataannya demikian atau hanya karena segan kepada anaknya yang kini sudah benar-benar hidup mandiri. Yang masih selalu ibu ingatkan, baik secara langsung atau melalui surat, ialah soal ibadah.

"Nduk, ibadah itu penting. Bagaimana pun sibukmu, salat jangan kamu abaikan!"

"Sempatkan membaca Quran yang pernah kau pelajari ketika di kampung dulu, agar tidak hilang."

"Bila kamu mempunyai rezeki lebih, jangan lupa bersedekah kepada fakir miskin dan anak yatim."

Ya, kalimat-kalimat semacam itulah yang masih sering beliau wiridkan. Mula-mula memang aku perhatikan; bahkan aku berusaha melaksanakan nasihat-nasihat itu, tapi dengan semakin meningkatnya volume kegiatanku, lama-lama aku justru risi dan menganggapnya angin lalu saja.

Sebagai artis tenar, tentu saja banyak orang yang mengidolakanku. Tapi ada seorang yang mengagumiku justru sebelum aku menjadi setenar sekarang ini. Tidak. Ia tidak sekadar mengidolakanku. Dia menyintaiku habis-habisan. Ini ia tunjukkan tidak hanya dengan hampir selalu hadir dalam even-even di mana aku tampil; ia juga setia menungguiku shoting film dan mengantarku pulang. Tidak itu saja. Hampir setiap hari, bila berjauhan, dia selalu telepon atau mengirim SMS yang seringkali hanya untuk menyatakan kangen.

Di antara mereka yang mengagumiku, lelaki yang satu ini memang memiliki kelebihan. Dia seorang pengusaha yang sukses. Masih muda, tampan, sopan, dan penuh perhatian. Pendek kata, akhirnya aku takluk di hadapan kegigihannya dan kesabarannya. Aku berhasil dipersuntingnya. Tidak perlu aku ceritakan betapa meriah pesta perkawinan kami ketika itu. Pers memberitakannya setiap hari hampir dua minggu penuh. Tentu saja yang paling bahagia adalah kedua orang tuaku yang memang sejak lama menghendaki aku segera mengakhiri masa lajangku yang menurut mereka mengkhawatirkan.

Begitulah, di awal-awal perkawinan, semua berjalan baik-baik saja. Setelah berbulan madu yang singkat, aku kembali menekuni kegiatanku seperti biasa. Suamiku pun tidak keberatan. Sampai akhirnya terjadi sesuatu yang benar-benar mengubah jalan hidupku.

Beberapa bulan setelah Ragil, anak keduaku, lahir, perusahaan suamiku bangkrut gara-gara krisis moneter. Kami, terutama suamiku, tidak siap menghadapi situasi yang memang tidak terduga ini. Dia begitu terpukul dan seperti kehilangan keseimbangan. Perangainya berubah sama sekali. Dia jadi pendiam dan gampang tersinggung. Bicaranya juga tidak seperti dulu, kini terasa sangat sinis dan kasar. Dia yang dulu jarang keluar malam, hampir setiap malam keluar dan baru pulang setelah dini hari. Entah apa saja yang dikerjakannya di luar sana. Beberapa kali kutanya dia selalu marah-marah, aku pun tak pernah lagi bertanya.

Untung, meskipun agak surut, aku masih terus mendapatkan kontrak pekerjaan. Sehingga, dengan sedikit menghemat, kebutuhan hidup sehari-hari tidak terlalu terganggu. Yang terganggu justru keharmonisan hubungan keluarga akibat perubahan perilaku suami. Sepertinya apa saja bisa menjadi masalah. Sepertinya apa saja yang aku lakukan, salah di mata suamiku. Sebaliknya menurutku justru dialah yang tak pernah melakukan hal-hal yang benar. Pertengkaran hampir terjadi setiap hari.

Mula-mula, aku mengalah. Aku tidak ingin anak-anak menyaksikan orang tua mereka bertengkar. Tapi lama-kelamaan aku tidak tahan. Dan anak-anak pun akhirnya sering mendengar teriakan-teriakan kasar dari mulut-mulut kedua orang tua mereka; sesuatu yang selama ini kami anggap tabu di rumah. Masya Allah. Aku tak bisa menahan tangisku setiap terbayang tatapan tak mengerti dari kedua anakku ketika menonton pertengkaran kedua orang tua mereka.

Sebenarnya sudah sering beberapa kawan sesama artis mengajakku mengikuti kegiatan yang mereka sebut sebagai pengajian atau siraman rohani. Mereka melaksanakan kegiatan itu secara rutin dan bertempat di rumah mereka secara bergilir. Tapi aku baru mulai tertarik bergabung dalam kegiatan ini setelah kemelut melanda rumah tanggaku. Apakah ini sekadar pelarian ataukah --mudah-mudahan-- memang merupakan hidayah Allah. Yang jelas aku merasa mendapatkan semacam kedamaian saat berada di tengah-tengah majelis pengajian. Ada sesuatu yang menyentuh kalbuku yang terdalam, baik ketika sang ustadz berbicara tentang kefanaan hidup di dunia ini dan kehidupan yang kekal kelak di akhirat, tentang kematian dan amal sebagai bekal, maupun ketika mengajak jamaah berdzikir.

Setelah itu, aku jadi sering merenung. Memikirkan tentang diriku sendiri dan kehidupanku. Aku tidak lagi melayani ajakan bertengkar suami. Atau tepatnya aku tidak mempunyai waktu untuk itu. Aku menjadi semakin rajin mengikuti pengajian; bukan hanya yang diselenggarakan kawan-kawan artis, tapi juga pengajian-pengajian lain termasuk yang diadakan di RT-ku. Tidak itu saja, aku juga getol membaca buku-buku keagamaan.

Waktuku pun tersita oleh kegiatan-kegiatan di luar rumah. Selain pekerjaanku sebagai artis, aku menikmati kegiatan-kegiatan pengajian. Apalagi setelah salah seorang ustadz mempercayaiku untuk menjadi "asisten"-nya. Bila dia berhalangan, aku dimintanya untuk mengisi pengajian. Inilah yang memicu semangatku untuk lebih getol membaca buku-buku keagamaan. O ya, aku belum menceritakan bahwa aku yang selama ini selalu mengikuti mode dan umumnya yang mengarah kepada penonjolan daya tarik tubuhku, sudah aku hentikan sejak kepulanganku dari umrah bersama kawan-kawan. Sejak itu aku senantiasa memakai busana muslimah yang menutup aurat. Malah jilbabku kemudian menjadi tren yang diikuti oleh kalangan muslimat.

Ringkas cerita; dari sekadar sebagai artis, aku berkembang dan meningkat menjadi "tokoh masyarakat" yang diperhitungkan. Karena banyaknya ibu-ibu yang sering menanyakan kepadaku mengenai berbagai masalah keluarga, aku dan kawan-kawan pun mendirikan semacam biro konsultasi yang kami namakan "Biro Konsultasi Keluarga Sakinah Primadona". Aku pun harus memenuhi undangan-undangan --bukan sekadar menjadi "penarik minat" seperti dulu-- sebagai nara sumber dalam diskusi-diskusi tentang masalah-masalah keagamaan, sosial-kemasyarakatan, dan bahkan politik. Belum lagi banyaknya undangan dari panitia yang sengaja menyelenggarakan forum sekadar untuk memintaku berbicara tentang bagaimana perjalanan hidupku hingga dari artis bisa menjadi seperti sekarang ini.

Dengan statusku yang seperti itu dengan volume kegiatan kemasyarakatan yang sedemikian tinggi, kondisi kehidupan rumah tanggaku sendiri seperti yang sudah aku ceritakan, tentu semakin terabaikan. Aku sudah semakin jarang di rumah. Kalau pun di rumah, perhatianku semakin minim terhadap anak-anak; apalagi terhadap suami yang semakin menyebalkan saja kelakuannya. Dan terus terang, gara-gara suami, sebenarnyalah aku tidak kerasan lagi berada di rumahku sendiri.

Lalu terjadi sesuatu yang membuatku terpukul. Suatu hari, tanpa sengaja, aku menemukan sesuatu yang mencurigakan. Di kamar suamiku, aku menemukan lintingan rokok ganja. Semula aku diam saja, tapi hari-hari berikutnya kutemukan lagi dan lagi. Akhirnya aku pun menanyakan hal itu kepadanya. Mula-mula dia seperti kaget, tapi kemudian mengakuinya dan berjanji akan menghentikannya.

Namun beberapa lama kemudian aku terkejut setengah mati. Ketika aku baru naik mobil akan pergi untuk suatu urusan, sopirku memperlihatkan bungkusan dan berkata: "Ini milik siapa, Bu?"

"Apa itu?" tanyaku tak mengerti.
"Ini barang berbahaya, Bu," sahutnya khawatir, "Ini ganja. Bisa gawat bila ketahuan!"
"Masya Allah!" Aku mengelus dadaku. Sampai sopir kami tahu ada barang semacam ini. Ini sudah keterlaluan.

Setelah aku musnahkan barang itu, aku segera menemui suamiku dan berbicara sambil menangis. Lagi-lagi dia mengaku dan berjanji kapok, tak akan lagi menyentuh barang haram itu. Tapi seperti sudah aku duga, setelah itu aku masih selalu menemukan barang itu di kamarnya. Aku sempat berpikir, jangan-jangan kelakuannya yang kasar itu akibat kecanduannya mengonsumsi barang berbahaya itu. Lebih jauh aku mengkhawatirkan pengaruhnya terhadap anak-anak.

Terus terang aku sudah tidak tahan lagi. Memang terpikir keras olehku untuk meminta cerai saja, demi kemaslahatanku dan terutama kemaslahatan anak-anakku. Namun seiring maraknya tren kawin-cerai di kalangan artis, banyak pihak terutama fans-fansku yang menyatakan kagum dan memuji-muji keharmonisan kehidupan rumah tanggaku. Bagaimana mereka ini bila tiba-tiba mendengar --dan pasti akan mendengar-- idolanya yang konsultan keluarga sakinah ini bercerai? Yang lebih penting lagi adalah akibatnya pada masa depan anak-anakku. Aku sudah sering mendengar tentang nasib buruk yang menimpa anak-anak orang tua yang bercerai. Aku bingung.

Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus mengorbankan rumah tanggaku demi kegiatan kemasyarakatanku, ataukah sebaiknya aku menghentikan kegiatan kemasyarakatan demi keutuhan rumah tanggaku? Atau bagaimana? Berilah aku saran! Aku benar-benar pusing!***


co
ccccc

PERSAHABATAN
melihat tawa n snyum kalian mengingatkan ku..
kan saat pertama kali kta brtemu..
aku mngenal klian tanpa sngaja...
mncoba akrab dgn klian ..
n akhrnya menjalin sbuah pershabatan...
kita selalu menjalani hari2 bersama2..
meskipun terkdang kita bertengkar ..
hnya karena sbuah hal..
ku tak pernah mnympan dendam d'htiku...
stelah beberapa waktu..
aku paham..
klian mempunyai kekurangan2..
yg bgiku kelebihan..
n q mempunyai kekurangan yg bgi klian adlah kelebihan..
karena toew..
kita slalu melengkapi satu sama lain..
kita slalu bersama layaknya sbuah kluarga..
Kalian slalu stia mnemaniku..
di saat q sdh...
klian hbur q dgn candamu..
di saat q bimbang..
klian membriku bnyak solusi..
di saat q mnangis..
klian rubah air mataku menjadi sbuah snyuman..
jika esok q tlah tiada..
maafkanlah smua ksalahanku..
klian adlah sosok yg sgt brart dlam hdup ku..
twa kalian slalu membuatku bhagia..
Karna itu...
kutempatkan..
"KEDUDUKAN SAHABAT JAUH DIATAS CINTA"
karena shbat lbih mngert arti dri stiap tetes air mata yg jtuh dri
mata kta..
n q ingin klian taw...
bahwa ..
"AKU BAHAGIA MEMPUNYAI SAHABAT SEPERTI KALIAN"





Lirik Lagu Syahrini Sesuatu Lyrics
kau melihatku sampai terdengar bunyi
dagdigdug dagdigdug detak jantungku
kau rayu aku sampai aku jadi malu
*courtesy of LirikLaguIndonesia.net
kau sentuh aku sampai gemetar tubuh
dari rambut sampai di ujung kaki
aku terpaku merasakan sesuatu
peluklah aku di pelukanmu agar aku rindu
sentuhan itu membuat diriku membayangkan sesuatu
sesuatu yang ada di hatiku
sesuatu yang ada di hatimu
sesuatu yang ada di benakku
sesuatu juga ada dalam benakmu
kau sentuh aku sampai gemetar tubuh
dari rambut sampai di ujung kaki
aku terpaku merasakan sesuatu ooh
peluklah aku di pelukanmu agar aku rindu
sentuhan itu membuat diriku membayangkan sesuatu
sesuatu yang ada di hatiku
sesuatu yang ada di hatimu
sesuatu yang ada di benakku
sesuatu juga ada dalam benakmu
sesuatu yang ada di hatiku
sesuatu yang ada di hatimu
sesuatu yang ada di benakku
sesuatu juga ada dalam benakmu
sesuatu yang ada di hatiku
sesuatu yang ada di hatimu
sesuatu yang ada di benakku
sesuatu juga ada dalam benakmu
sesuatu ya

tulisan ibd ke-1

Tulisan IBD 1

Sebuah perkampungan suku Toraja.
Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan.Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta. Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang.
Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya.Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.
Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa desabiasanya membentuk kelompok; kadang-kadang, bebrapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang diperbolehkan untuk masing-masing orang.
Agama
Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta.Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah.Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanianmaupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan.Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian.Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.


Ukiran kayu Toraja: setiap panel melambangkan niat baik.
Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan.Untuk menunjukkan kosep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.
Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dankecebong yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri memperlihatkan contoh ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.
Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja (lihat desain tabel di bawah), selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur.Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri.Suku Toraja menggunakan bambu untuk membuat oranamen geometris.

Tempat penguburan Toraja yang diukir.
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman.Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu,jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.


Sebuah makam.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.
Musik dan Tarian
Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong).Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman.Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.